Bab 2 Terpencil

16.9K 656 53
                                    

Aku merasa dibuang ke tempat asing yang tak kukenal. Berharap keajaiban terjadi tapi nyatanya mustahil. Takdir membawaku ke dunia yang berbeda.

==*==

Entah sudah berapa lama kami menempuh perjalan menuju pondok pesantren yang akan aku tinggali. Rasanya sudah lebih dari dua jam setelah keluar dari bandara Juanda Surabaya, tapi mobil tak kunjung berhenti. Aku merasa seakan dibuang ke tempat terpencil layaknya cerita Snow White yang sering aku dengar saat kecil.

Aku mendesah lelah menyandarkan punggungku dengan pandangan ke luar jendela, mengabaikan mama yang terus berceloteh tentang pondok pesantren tersebut.

"Mama yakin kamu pasti akan betah disini. Pondok pesantren As-Salam merupakan pondok pesantren modern dengan metode pembelajaran yang tak kalah dengan sekolahmu di Jakarta."

"Mama kamu benar, kita uda mencaritahu betul seluk beluk pondok pesantren ini dan banyak alumni disana yang sukses baik di dalam maupun di luar negri." Papa yang duduk disamping sopir sampai menengok ke belakang karna ikut menimpali ucapan mama.

"Percaya deh sama Mama, kamu akan lebih mudah masuk ke ESMOD Paris setelah lulus dari sini."

"Mama bercanda?" selaku dengan senyum miring, "daerah terpencil kayak gini mana tahu apa itu ESMOD, bahkan untuk nyari signal internet aja susah."

"Mama serius, mama uda baca semua program yang ditawarkan disana dan ternyata ada ekstrakulikuler desain juga," ucap Mama tak mau kalah.

Aku tak lagi menjawab, percuma saja, semua bantahanku tak akan bisa mengembalikanku ke Jakarta. Aku memilih untuk kembali menatap ke luar jendela, setidaknya pemandangan hijau di depan sana dapat sedikit  mengurangi beban di otakku.

Tak lama mobil kami memasuki sebuah gapura yang bertuliskan "Pondok Pesantren As-Salam Pacet, Mojokerto" mendadak jantungku berdetak cepat, aku mulai merasakan ketakutan yang tak masuk akal. Aku memilih tetap bergeming walaupun papa dan mama telah keluar dari mobil.

"Ayo turun, Sayang," ujar mama ketika membuka pintu di sebelahku.

Aku ragu, tubuhku rasanya begitu berat hanya untuk bergerak, seakan menolak untuk membaur dengan lingkungngan disini.

"Uda ayo." Mama menarik tanganku pelan.

Mataku menatap sekeliling, hanya bangunan sederhana dan terkesan tua yang sekarang aku lihat, beberapa pohon besar tersebar di setiap sudut yang menambah kesan asri tapi tak ada yang spesial disini, dan juga tak ada kesan modern dimanapun. Sepertinya semua ucapan mama tadi hanya untuk menenangkanku.

"Sayang, pakai kerudungmu." Ucapan mama membuyarkan lamunanku, segara kusampirkan kerudung panjang di atas kepalaku secara asal.

Mama kembali meraih tanganku, mengajakku berjalan untuk mengikuti papa yang telah lebih dulu berjalan di depan dengan seorang pria bersarung.

Kami memasuki bangunan yang lebih mirip sebuah rumah tinggal, dengan atap tak terlalu tinggi dan berlantai keramik sederhana. Ruang tamunya tak terlalu luas, hanya ada satu set sofa dan lemari yang lebih mirip rak buku di salah satu sisinya, dindingnya penuh dengan hiasan tulisan-tulisan arab yang tak ku mengerti.

"Monggo pinarak," Pria itu sedikit membungkuk sambil mengarahkan ibu jarinya kearah sofa. "kulo panggilkan pak kyai dulu."

Aku duduk menempel pada mama, tanganku terus menggengam tangannya dan sepertinya mama menyadari kegugupanku, karna sekarang tangan msma berganti menepuk-nepuk tanganku pelan.

Seorang gadis keluar dengan membawa nampan yang berisi minuman, aku kira mungkin dia seumuran denganku. Gadis itu itu berlutut di lantai sambil meletakkan cangkir satu persatu di hadapan kami. "Monggo diunjuk."

Ta'aruf dalam SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang