Bab 38 Azmi Iskandar

10.6K 615 164
                                    

Allah telah menggariskan takdir yang sangat indah untukku, membuatku terlahir di tengah-tengah keluarga luar biasa, juga menciptakanku dengan fisik dan otak sempurna. Oleh karena itu, aku akan menjadi manusia yang tak tahu diri kalau sampai terbesit rasa marah pada-Nya, hanya karena Allah mentakdirkanku dan Fatimah untuk berpisah. Lagipula di dalam hatiku masih ada suatu keyakinan bahwa kita akan berjodoh.

Sebuah burung besi telah membawa ragaku terbang jauh dari sangkar hidupku, menuju ke belahan bumi lain untuk menguji kesetiaan kami. Sebenarnya selama setahun ke belakang, hidupku terasa berbeda karena anugerah cinta yang dititipkan oleh Allah dan sekarang aku tak mau terlalu tamak untuk meminta lebih.

Mataku menatap ke luar jendela pesawat, menikmati kumpulan awan putih bersih yang tersebar tak terbatas pandang. Seutas senyum kecil terukir di bibirku kala mengingat awal aku tahu namanya, nama terindah untuk seorang muslimah.

Waktu itu umi berkunjung ke Kairo untuk menjemputku dan Neng Wirdah, di sana beliau mendapat kabar dari pondok bahwa terjadi masalah akibat ulah seorang santri baru. Bukannya marah, umi malah tertawa lebar kala mendengar kenakalan santri tersebut, bahkan umi bersikeras tidak akan mengeluarkannya dari pondok.

"Namanya Fatimah Maheswari, wajahnya sangat cantik seperti artis kota," ucap Umi kala itu dengan mata berbinar.

Aku yang sedang berkemas tak terlalu tertarik untuk menanggapi, karena memang umi selalu membicarakan tentang gadis cantik untuk menarik perhatianku.

"Masak kata ustazah Umi tadi Fatimah memutar lagu barat di speaker masjid." Umi melanjutkan ceritanya masih dengan menahan tawa.

Kali ini aku sedikit merasa terusik, bukan karena kenakalan gadis itu melainkan penasaran dengan respon yang umi tunjukkan. Terlihat jelas bahwa beliau malah seperti bahagia dan begitu bersemangat saat bercerita, bukan lagi seorang Bu Nyai yang selalu berusaha bersikap anggun di segala suasana.

Aku menatap wajah cantik umi yang nampak berbinar, beliau kembali melanjutkan ceritanya. "Kamu tahu, Umi seperti melihat masa muda Umi pada diri Fatimah, begitu murni dan apa adanya. Dulu Umi juga sering protes dan memberontak saat tak setuju dengan mbah kung mu, karena Umi tidak suka menahan perasaan atau menggerutu di belakang."

Rasa penasaranku mulai terusik dengan sosok Fatimah, gadis cantik dengan sikap apa adanya yang mampu membuat umi begitu berseri kala membahasnya.

Sesederhana itu Allah menyusun sekenerio untuk hatiku, bahkan Allah menyisipkan rasa penasaran atas seorang gadis yang hanya kutahu namanya.

Semua sekenario itu berlanjut saat aku telah pulang ke Indonesia, di pondok pesantren As-Salam yang menjadi sarang ternyamanku. Kala itu bertepatan dengan acara "Selapanan" pondok, tanpa kuduga Allah mengizinkanku untuk melihat langsung gadis yang bernama Fatimah. Ternyata dia menjadi salah satu pemenang Olimpiade yang diundang untuk naik ke atas panggung, dan saat itu iris gelapku bertemu dengan mata bulat indah yang secara terang-terangan menatapku.

Berbeda dengan para gadis yang terbiasa malu-malu tapi dia tampak tak sungkan menunjukkan ketertarikannya padaku. Ternyata benar apa yang diucapkan umi bahwa dia tipe gadis yang apa adanya.

Rasa penasaranku telah mendapatkan obatnya, dan semua tak ada yang istimewa. Hatiku tetap terjaga dari perasaan lawan jenis yang rawan akan syahwat. Tapi sepertinya rencana Allah lebih indah, karena hari itu juga ustad Ridwan memintaku secara pribadi untuk menjadi pembimbing untuk peserta Olimpiade Matematika. Itu artinya aku dan Fatimah akan terlibat dalam suatu kondisi yang memungkinkan kita untuk sering bersama.

Awalnya aku hanya merasa geli tiap mendapati Fatimah menatapku diam-diam, mencoba selalu mengingatkannya untuk menjaga pandangan yang pada akhirnya malah membuat wajahnya merona.

Tak ada satu mahluk pun yang tahu bahwa sekuat tenaga aku tetap menjaga segala inderaku atas dirinya, aku terlalu takut terserumus ke dalam perangkap setan yang menjadikan keindahan fisik Fatimah menjadi senjata.

Tiba-tiba di suatu kesempatan aku tidak bisa menemaninya untuk menghadiri acara briefing Olimpiade, sebagai bentuk tanggung jawab aku menitipkan sebuah surat penyemangat untuknya. Tak ada niat lain pada waktu itu, murni hanya sebagai bentuk dukungan untuknya.

Hari itu aku memang cukup sibuk mengurus segala sesuatu untuk bisnis yang baru aku rintis,  sampai tak terasa aku pulang cukup malam. Setelah menjalankan sholat Isyak di kamar, aku melanjutkan zikir seperti biasa tapi entah kenapa bayangan wajah Fatimah sekelebat muncul dalam pandangannku yang terpejam.

"Astaqfirullahaladzim."

Aku bersujud dengan mengucap Istiqhfar berkali kali karena terlalu takut dengan tipu muslihat setan atas keteguhanku.

Malam ini mataku benar-benar tak bisa terpejam walau tubuhku lelah, kulangkahkan kaki menuju teras rumah untuk berbaur dengan dinginnya malam. Tanpa diduga kali ini alam yang memberikan ruang untuk pertemuan kami, kulihat Fatimah berdiri di halaman dengan ekspresi seperti mencari.

"Nyari saya?" tanyaku yang membuatnya berjingkat.

Wajahnya yang terkejut bercampur malu membuatku ingin tertawa, tapi segera kuturunkan pandanganku sambil berucap, "Kok bengong?"

"Gak kok, hanya berjalan-jalan karena gak bisa tidur," jawabnya

Aku tersenyum geli. "Bukankah kalau di atas jam sepuluh, semua santri dilarang keluyuran?"

"Ya kali keluyuran, wong cuma disini doang." Sepertinya dia memang tipe gadis keras kepala, persis dengan yang umi ceritakan.

"Jadi benar yang dikatakan Eliana, kalau kamu hobi melanggar peraturan?"

"Percaya sama Eliana itu namanya musyrik," bantahnya dengan tatapan berani.

Akhirnya tawaku pecah dan tak dapat kutahan lagi, sampai aku harus menutup mulut untuk tetap menjaga sopan santun. Mungkin menghadapi gadis seperti Fatimah merupakan hal baru bagiku, karena biasanya aku hanya di kelilingi oleh gadis lemah lembut yang selalu menjaga sikap.

Sejak malam itu hatiku goyah, keteguhan untuk menjaga perasaan seakan terombang ambing. Semua tentang Fatimah mulai mendominasi pikiranku dan ketakutan akan godaan setan mulai menguasaiku. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk beristiqaroh, meminta petunjuk kepada Allah tentang kegundahan hatiku.

Ya Allah ... Hamba memohon kepada Engkau, tempatkanlah hati ini pada wanita yang tepat dan jangan biarkan nafsu mengambil alih.

Hanya itu yang aku ucapkan berkali-kali dalam istiqarohku, tanpa mengucapkan nama siapapun itu. Karena di saat dalam doa sudah melantunkan nama, berarti ada keinginan pribadi untuk memiliki dan aku tidak mau itu. Biarlah Allah sendiri yang menentukan pilihan terbaik untukku.

Pada suatu malam, aku seperti kehilangan kendali atas diriku. Aku tak mampu menjaga pandangan dan lisan saat melihatnya mengenakan jilbab pemberianku.

"Cantik."

Mulutku berucap tanpa sadar, diiringi oleh detak jantungku yang tak normal. Bahkan lisanku mulai memuji saat melihat semburat merah menghiasi wajahnya.

"Jangan merona, nanti banyak yang suka."

Secara tidak langsung aku mulai mengintimidasi agar dirinya tak membiarkan orang lain untuk menyukainya. Sekarang keegoisan mulai ikut menyumbang dalam dadaku, dan sebentar lagi sifat tamak akan menguasai.

Na'uzubillahi min dzalik.


Ta'aruf dalam SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang