Bab 27 Fitnah 2

9.5K 514 69
                                    

Sa yajii'ul haqqu.

Kebenaran akan terungkap, kalimat itu terlalu singkat tapi memiliki arti yang dalam. Tapi aku tak tahu, itu merupakan kalimat dukungan atau malah sindiran? Entahlah, aku masih belum bisa mengerti jalan pikiran Gus Azmi.

Aku kembali berbaring meringkuk bagaikan sebuah janin, dengan air mata yang mengalir tanpa suara. Bagaimana bisa kebenaran itu terungkap kalau aku tak melakukan apapun, gerakanku sekarang terbatas dan pasti sangat diawasi.

Hidupku bagai berdiri di pucuk berduri, sangat riskan dalam melakukan semua hal. Aku hanya bisa menunggu vonis yang akan kuterima, entah itu bertahan di sini atau keluar dari sini.

Emosi benar-benar telah menguras tenaga, membuatku terjatuh pada pusara mimpi yang damai.

Aku tertidur.

"Fat ... bangun ... Fat ..."

Sayup-sayup kudengar suara yang memanggilku, disertai sebuah guncangan kecil pada lenganku. Kupaksakan membuka mata walau berat, dan seketika serangan nyeri terasa di kepalaku. Ah ... Rasanya belum sampai sepuluh menit aku tertidur.

"Kenapa?" tanyaku pada Ana yang berdiri di samping ranjang.

"Kamu dipanggil Bu Nyai, diminta datang ke rumah beliau sekarang juga."

Keningku berkerut, dadaku juga mulai berdetak kencang. Jujur, aku merasakan ketakutan yang luar biasa, mengingat kejadian semalam sedikit menorehkan trauma padaku. Tatapan merendahkan, ekspresi intimidasi dan ungkapan tuduhan masih belum bisa hilang dari ingatanku. Lalu sekarang apa lagi?

Aku bangkit, turun dari ranjang dan merapikan kerudungku.

"Mau aku antar?" tanya Ana.

Aku menggeleng sambil tersenyum yang jelas kupaksakan. "Gak usah, bentar lagi juga waktunya sholat Ashar, entar kamu telat."

"Tapi kamu kuat kan?" Terdengar kekhawatiran dari ucapan Ana.

Kali ini aku mengangguk. "Kuntu bikhairin." Lalu memilih berlalu, sungguh aku benci dikasihani.

Aku merasa setiap santri yang berpapasan denganku selalu memberikan tatapan tak mengenakkan, mereka semua juga berbisik-bisik sambil memandangku. Padahal aku yakin tak ada santri yang tahu tentang kejadian semalam, selain aku dan Ali. Lalu siapa yang menyebarkannya?

Kepercepat jalanku untuk sampai di rumah Bu Nyai, tapi aku ragu untuk memasukinya. Berkali-kali aku menghirup nafas kuat lalu menhembuskannya perlahan, agar bisa mengurangi kegugupanku. Akhirnya kuputuskan untuk melangkah masuk, diiringi dengan ucapan salam.

"Waalaikumsalam, ayo masuk," jawab Bu Nyai.

Aku terpaku melihat ruang tamu tersebut, seperti mengalami perasaan takut yang terulang saat pertama kali aku masuk pondok pesantren ini. Semua masih sama, sederhana dan terasa damai tapi menciptakan perasaan mencekam untukku.

"Kemarilah Fatimah," tambah Bu Nyai yang membuatku tergagap.

Aku berjalan menghampiri beliau, lalu duduk tepat di sebelahnya. Bu Nyai menyodorkan sebuah ponsel yang masih menyala ke arahku, sepertinya ponsel tersebut masih tersambung pada sebuah panggilan.

"Ini mama kamu."

Seketika dadaku bergemuruh, perasaan sedih itu kembali merangsek masuk dan membuat air mataku ingin keluar. Dengan sedikit bergetar, kuterima benda pipih tersebut.

"Ma ... ma...." Dan seketika tangisku pecah. "Ma...." Aku terisak tak mampu berkata-kata.

"Sayang ... jangan menangis."  Terdengar suara mama yang juga seperti menahan tangis. "Semua akan baik-baik saja."

Ta'aruf dalam SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang