Bab 22 Perasaan Semu

7.5K 348 2
                                    

Fatmah Boutique, sebuah toko busana khusus wanita yang berada di pusat kota Mojokerto. Di sana menjual berbagai macam gamis syar'i dengan desain eksklusif, harganya pun terbilang tidak murah. Butik ini milik Bu Nyai dan sebagian besar baju di sini adalah rancangan beliau sendiri.

Aku cukup kagum dengan koleksi-koleksi yang ada di butik ini, walaupun tidak berada di kota besar tapi desain-desain bajunya cukup fashionable.

Saking asiknya berkeliling, aku sampai baru menyadari kalau ternyata Gus Azmi terus mengikutiku dari belakang. Sedangkan Bu Nyai sendiri tengah memberikan instruksi-instruksi pada para pegawai.

Aku mengusap sebuah gamis yang terpasang di salah satu manekin dengan senyum mengembang. Gamis itu sangat cantik dengan potongan A line yang dihiasi payet di bagian dada. Warna salem membuatnya terlihat sederhana tapi tetap elegan, dan bahanya pun sangat lembut.

"Mau coba?" tanya Gus Azmi yang sontak membuatku balik badan.

Kugelengkan kepalaku pelan dengan senyum malu-malu, aku memang ingin mencobanya tapi tidak saat dilihat olehnya. Lagi-lagi kepercayaan diriku selalu lenyap saat di dekatnya.

"Coba gratis kok," ucapnya lagi dengan menahan senyum.

Sepertinya dia memang sengaja ingin mengejekku. Segera aku menghindarinya dan berjalan mendekati Bu Nyai, dan aku bisa  melihat dari kejahuan kalau dia tersenyum lebar.

Nyebelin.

"Bagaimana menurut kamu, Fatimah?" tanya Bu Nyai yang sekarang berada di samping meja kasir.

Aku tersenyum seraya menjawab, "Baju-baju di sini terlihat sangat elegan, Bu Nyai."

Bu Nyai menampilkan senyum hangat. "Sebenarnya saya ingin memproduksi gaun-gaun pengantin muslim, hanya saja belum dapat ide. Dan kemarin setelah melihat desain kamu, saya jadi ingin berkolaborasi denganmu."

Sungguh aku terkejut, antara senang juga tak percaya. Jujur saja, aku masih tidak percaya diri kalau sampai ditahap produksi, apalagi kelasnya Bu Nyai sangat eksklusif. Desainku itupun hanya hasil dari imajenasi tanpa memikirkan tehnik ataupun bahan.

"Saya merasa belum pantas, Bu Nyai," jawabku.

"Jangan pernah merendah seperti itu, kamu itu punya bakat," jawab Bu Nyai sambil memegang pundakku.

"Sudah waktunya sholat Maghrib, Umi." Suara Gus Azmi menginterupsi obrolan kami.

Bu Nyai mengangguk, lalu memanggil wanita yang tadi berangkat bersama kami.

Aku mengikuti mereka menuju ke mushola yang masih berada di lingkungan butik. Karena ini mushola untuk pengunjung, maka tidak ada imam khusus di sini. Jadilah Gus Azmi yang menjadi imam kami.

Entah kenapa jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat saat memulai takbir. Posisiku yang berada tepat di belakang Gus Azmi, membuat sholatku seakan juga sebagai doa untuk hubungan kami.

Ini memang bukan pertama kalinya Gus Azmi menjadi imam dalam sholatku, tapi tetap saja aku selalu merinding saat mendengar lantunan ayat Al-Qur'an dari bibirnya. Sepanjang apapun surat yang dibaca, tak akan membuatku bosan.

Setelah sholat Maghrib, kami mampir ke sebuah rumah makan untuk makan malam. Makanan yang di pesan oleh Bu Nyai adalah segala macam menu seafood, dan kebetulan aku juga menyukainya.

"Lho  di mana Azmi?" tanya Bu Nyai saat kami telah duduk di kursi yang di pesan.

"Tadi masih di mobil, Bu Nyai," jawab wanita yang baru kutahu bernama Wati, dan biasanya Bu Nyai memanggilnya bu dhe.

Akhirnya Gus Azmi datang bersamaan dengan datangnya makanan yang kami pesan. Kami memulai makan dengan obrolan-obrolan ringan, yang didominasi oleh Bu Nyai.

Ta'aruf dalam SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang