"Siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, jangan sampai berduaan dengan lawan jenis di tempat yang tak terlihat oleh siapa pun"
==*==
Ruangan besar ini terasa begitu mencekam, atmosfer hawa dingin dari setiap tatapan orang-orang seakan membekukanku. Aku hanya bisa menunduk dengan tangan saling meremas, merasakan degub jantungku yang berdetak beribu kali lipat lebih cepat.
Sidang kesalahanku dan Ali digelar di Aula Pondok Pesantren As-Salam. Sidang siang ini dihadiri oleh tiga Kyai besar, para pengajar juga kedua orang tua kami, dan yang pasti Pak Slamet sebagai saksi mata. Deret meja berbentuk oval dalam ruangan ini sudah terlihat hampir penuh, tapi aku tak bisa menghitung berapa jumlah orang yang hadir.
Salam pembuka diucapkan oleh Kyai Mahfud, yang aku tahu adalah adik dari Kyai Iskandar. Sampai tibalah saatnya Kyai Iskandar berbicara, saat itulah gelar perkara dimulai. Beliau meminta Pak Slamet untuk menceritakan apa yang dilihat pada malam itu, dan kami semua hanya mendengarkan. Kemudian gilirian Ali yang diminta untuk menyampaikan apa yang dialami, pemuda yang kini duduk diapit oleh kedua orang tuanya itu mulai berbicara sambil berdiri.
Ketakutanku semakin menguasai, bahkan tubuhku terasa sedikit bergetar karena sebentar lagi waktuku untuk membuka suara. Aku memang merasa tidak bersalah, tapi diriku terlalu takut kalau sampai salah bicara yang malah akan memberatkan masalah ini.
"Sayang tenanglah," bisik Mama yang duduk di sisi kananku. Tangannya menggenggam erat tanganku yang bergetar, pasti mama juga bisa merasakan ketakutanku. "Ceritakan saja apa yang kamu alami."
Aku hanya bisa mengangguk.
Saat namaku disebut, hati ini serasa mencelos dengan sekujur tubuh yang meremang. Sekuat tenaga aku berdiri, mencengkeram erat pinggiran meja untuk mengurangi kegugupanku. Kuedarkan pandanganku hanya untuk mencari sosok yang mungkin bisa menguatkanku tapi nyatanya dia tak ada.
Gus Azmi tak datang.
Aku sedikit menengadah untuk menghalau air mata yang siap keluar, lalu menghirup nafas kuat sebelum menceritakan apapun yang kualami pada malam itu. Ceritaku mengalir begitu berat, semakin lama dadaku terasa bertambah sesak. Bayangan saat kami digelandang dan diadili malam itu sangat mempengaruhi perasaanku, dan sekarang suaraku mulai terdengar bergetar. Air mataku tumpah bersamaan dengan rengkuhan mama yang menarik tubuhku ke dalam pelukannya.
Suasana kembali hening, bahkan ketiga Kyai besar yang duduk di depan sana hanya menunduk terdiam. Sampai suara serak nan berat itu kembali terdengar, melontarkan pertanyaan yang sangat sulit aku jawab.
"Apa yang membuat kalian menuruti surat itu?" tanya Kyai Iskandar.
Ali sontak berdiri dan menjawab dengan lantang, "Karena saya menghawatirkan Fatimah...."
Aku bisa melihat seluruh peserta sidang saling berbisik satu sama lain, entah apa yang mereka fikirkan.
"Kami telah menjadi teman, oleh karena itu saat dalam surat tersebut tertulis bahwa Fatimah ingin bertemu karena hal yang penting, saya merasa pasti dia sangat membutuhkan bantuan. Karena saya tahu betapa beratnya dia menghadapi masa-masa transisi yang sangat sulit di pesantren ini."
Jujur saja aku cukup terkejut dengan jawaban Ali, sekaligus bersyukur karena jawabannya sungguh bijaksana. Awalnya aku takut kalau sampai pemuda itu menjawab dengan mengaitkan perasaan pribadinya padaku, ternyata Ali cukup cerdas untuk mengolah kalimat dengan baik.
"Saya tahu kami salah karena berduaan di tempat sepi, tapi tak ada sedikitpun perbuatan syahwat yang kami lakukan. Dan benar yang diucapkan Fatimah bahwa kami sama-sama terpeleset saat terlihat oleh Pak Slamet."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf dalam Sunyi
Teen FictionApa yang kalian fikirkan pertama kali saat mendengar nama Fatimah? Gadis alim? berkerudung? pintar agama? Huft... itulah yang selalu orang pikirkan saat berkenalan denganku, tapi percayalah aku tak sesempurna itu. Aku hanya gadis SMA biasa yang jug...