Bab 18 Keraguan

7.7K 360 0
                                    

"Cantik"

Hanya satu kata namun mampu membuat seluruh permukaan tubuhku menghangat, ditambah dengan ucapan Gus Azmi yang semakin melelehkan hatiku.

"Jangan merona, nanti banyak yang suka."

Ya Allah, lindungilah hambamu ini dari godaan dunia.

Aku hanya mampu menunduk dengan senyum malu-malu. "Makasih untuk hadiahnya."

"Selamat untuk keberhasilanmu dan selanjutnya aku sendiri yang akan membimbingmu sampai selesai."

Seketika aku mendongak, menatap wajahnya dengan ekspresi serius yang tak terbantahkan. Ini adalah berita paling membahagiakan sekaligus menakutkan untukku. Membahagiakan karena aku akan lebih sering bertemu dengannya tapi juga menakutkan saat aku tak mampu mengendalikan diri atas pesonannya.

"Sekarang tidurlah," ucap Gus Azmi tetap menatapku, "Dan jangan terlalu sering keluar malam, nanti akan timbul fitnah."

Aku menggangguk, lalu berbalik badan setelah mengucapkan salam. Aku terus melangkah tanpa menoleh, takut kalau kaki ini berkhianat dan mengajak kembali mendekat kepadanya.

Selalu hanya seperti ini, hubungan yang aku impikan memang seakan mustahil untuk berjalan maju. Tapi tak akan ada yang tahu jalan yang telah Allah gariskan untuk hambanya, oleh karena itu kita cukup mengikuti alurnya tanpa melanggar hukum yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Saat aku sudah sampai di teras kamar, aku bertemu dengan Eliana dari arah kamar mandi. Sudah pasti akan banyak pertanyaan yang terlontar untukku, padahal aku sudah sangat ingin tidur saat ini.

"Kamu dari mana?"

Nah benar kan? Tak mungkin dia membiarkanku lolos.

Ku lihat dirinya dengan senyum terpaksa. "Jalan-jalan aja di sekitar sini, soalnya gak bisa tidur."

Dia menatapku tajam. "Apa kamu gak tahu peraturan...."

"Ya ... ya ... ya ... gue tahu. Uda ya, gue ngantuk sekarang," Kuberikan dia senyum termanis, "bye Eliana."

==*==

Hari ini adalah hari terakhir aku melakukan murrotal setelah sholat Ashar. Rasanya sudah sangat terbiasa dan sudah tak lagi menjadi beban, bahkan nanti pasti akan sangat merindukan momen-momen saat dibimbing oleh Ustazah Umi.

Sekarang aku mulai sadar kalau ini bukan sekedar hukuman, melainkan suatu metode untuk merubah diriku.

"Syukron Ustazah. Atas bimbingan Ustazah, sekarang saya bisa lancar membaca Al-Quran," ucapku dengan senyum tulus.

Ustazah Umi pun tersenyum sambil membelai kepalaku. "Semua karena usahamu sendiri.  Saya juga gak nyangka kamu bisa sampai seperti sekarang, sangat membanggakan."

"Ah Ustazah bisa aja, entar saya jadi besar kepala."

Dan baru kali ini kami bisa tertawa bersama, menghapus kecanggungan antara guru dan murid.

Aku segera pamit untuk kembali ke kamar. Saat di ambang pintu, mataku menangkap dua sosok pemuda idola pondok ini sedang berbincang santai di teras.

Ku anggukkan kepala sambil tersenyum saat Gus Azmi menatapku, dan di detik berikutnya Ali pun menengok ke arahku. Tapi tak kusangka kalau Ali akan menghampiriku.

"Assalamualaikum Fat," sapanya.

Aku melirik ke arah Gus Azmi yang ternyata masih berdiri menatap kami.

Ta'aruf dalam SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang