Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, perang olimpiade dimulai. Kami telah berangkat ke Surabaya sejak jam lima tadi dan sekarang siap berihtiar untuk mencapai hasil terbaik.
Ku awali dengan ucapan basmalah saat membuka lembaran soal, tak lupa doa terbaik kepada Allah agar aku mampu mengerjakan dengan maksimal.
Sebenarnya aku pun telah mendapatkan dukungan yang manis untuk membakar semangatku sebelum berangkat ke sini. Secarik kertas kecil yang diberikan oleh Bu Nyai saat aku berpamitan, berisikan sebuah kalimat sederhana namun sarat akan kepercayaan.
'You can do it'
Bertanda emoticon smile dengan nama Azmi Iskandar di bawahnya, sungguh manis dan berkesan. Cukup mampu mewakili keberadaannya, walaupun dia tak ikut mengantarkan kami.
Waktu 120 menit telah terlewati dan hampir 85 persen dari tiga puluh soal mampu kukerjakan dengan yakin. Sisanya tetap terselesaikan walaupun dengan jawaban yang tak pasti.
Tempat pelaksanaan olimpiade kali ini berada di sebuah perguruan negeri di Surabaya, hal itu lebih memudahkan kami untuk menemukan masjid maupun kantin. Mengingat pengumuman masih dua jam lagi dan kami butuh istirahat.
"Kalian sudah melakukan yang terbaik, masalah hasilnya nanti serahkan saja sama Gusti Allah," kata Ustazah Umi saat kami tengah makan di kantin kampus.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Bagiku menang atau kalah tidak terlalu penting karena proses menuju hari ini terasa begitu menyenangkan untukku. Jadi apapun hasilnya nanti, aku tak akan menyesalinya.
Dua jam telah terlewati dan sekarang kami telah berkumpul di aula yang akan menjadi tempat pengumuman juara. Kulihat euforia kemenangan dari para peserta yang namanya telah disebutkan, dan wajah mendung dari peserta yang belum beruntung.
Aku mencoba tenang walaupun sebenarnya juga deg-degan. Tak perlu jadi juara pertama, jadi yang ke tiga seperti sebelumnya pun aku akan sangat senang. Namun sepertinya harapanku sirna karena saat nama juara tiga disebut, itu bukanlah namaku. Bahkan saat juara kedua dipanggil pun juga bukan diriku.
Hampir saja aku menyerah untuk berharap, terlalu tinggi kalau aku tetap menginginkan menjadi juara yang pertama. Aku memutuskan untuk menunggu saja di mobil karena Eliana masih menunggu pengumuman mapel Biologinya.
Kakiku baru akan melangkah keluar pintu saat tiba-tiba namaku disebut dengan lantang. Aku membeku dan tubuhku meremang, terlalu tak mempercayai apa yang ku dengar. Tapi saat tangan Ustazah Umi menyentuh lenganku, barulah aku yakin kalau aku memang telah menjadi juara.
"Kamu mau ke mana? ayo maju ke depan," ucap beliau dengan wajah berbinar.
Aku mengangguk dengan senyum yang mulai muncul. Segera ku berlari kecil menuju panggung, berdiri berjejer dengan dua peserta yang lain. Sorot kamera terus mengarah kepadaku, membuat semakin gugup.
Rasa bangga menyeruak saat medali emas itu terkalung di leherku dan tanganku sedikit gemetar saat menerima sebuah piala besar dari Gubernur Jawa Timur, sekaligus mencium tangan beliau.
Alhamdulillah ya Allah.... Aku benar-benar tak menyangka bisa mendapat hadiah sebesar ini. Berarti aku akan melanjutkan perjuanganku ke tingkat Nasional yang kemungkinan besar akan dilakukan di Jakarta.
Sayangnya Eliana tak bernasib sama denganku, dia tak masuk dalam tiga besar. Raut wajahnya memancarkan kekecewaan yang sangat besar, bahkan kulihat matanya mulai berkaca-kaca.
Aku menghampirinya yang masih berdiri di sebelah Ustazah Umi, kuusap lengannya pelan sambil berucap. "Tenang saja, lo masih bisa ikut tahun depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf dalam Sunyi
Teen FictionApa yang kalian fikirkan pertama kali saat mendengar nama Fatimah? Gadis alim? berkerudung? pintar agama? Huft... itulah yang selalu orang pikirkan saat berkenalan denganku, tapi percayalah aku tak sesempurna itu. Aku hanya gadis SMA biasa yang jug...