Bab 23 Minder

7.8K 344 5
                                    

"Sholat Istiqaroh itu salah sholat sunah yang digunakan untuk meminta petunjuk kepada Allah, entah itu sebab ingin memilih di antara dua hal, atau untuk memutuskan suatu hal. Lebih baik kalau dilakukan sepertiga malam terakhir," terang Ana saat kami berada di perpustakaan.

"Berapa rakaat?" tanyaku penasaran.

"Paling sedikit dua rakaat," Ana terlihat memicingkan mata menatapku, "Kenapa tiba-tiba tanya tentang sholat Istiqaroh? Apa ada yang ingin kamu pilih?"

Aku menggeleng sambil menatap buku sketsaku, "Hanya ada yang nyaranin."

"Siapa?" tanya Ana sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Ada deh ... Sejak kapan lo jadi kepo?" ejekku lalu tersenyum lebar, membuatnya manyun.

"Eh, besok ya acara hari santri?"

Ana mengangguk.

"Jadi gak sabar ingin lihat penampilan Ali lagi," ucapku antusias.

Ana mengerutkan kening, seakan menatapku curiga. "Perasaanmu ke Ali berubah lagi?"

"Maksutnya?"

"Apa sekarang kamu jadi suka sama Ali?" tanyanya dengan nada lebih lirih.

Aku menghela nafas sambil menyandarkan punggunggku. "Aku suka penampilan Ali, bukan orangnya."

Aku kembali melanjutkan sketsaku, sebuah gamis mewah untuk pesta dan tiba-tiba Ana kembali berbisik.

"Fat, aku balik ke kamar dulu ya."

"Kenapa?"

Dia menggerakkan dagunya ke depan. "Tuh Gus Azmi uda datang." Lalu dia beranjak pergi.

Kursi yang kududuki memang membelakangi arah pintu, jadi aku tak tahu siapa saja yang memasuki perpustakaan. Aku tetap memilih pada posisiku, tak menengok juga tak berpindah,  sampai ku dengar salam dari Gus Azmi.

Pemuda itu memilih duduk di hadapanku. Wajah itu selalu membawa senyum di bibirnya, membuat siapa saja betah untuk berlama-lama menikmatinya. Masalahnya di sini, aku yang selalu tampak seperti orang bodoh saat terhipnotis oleh senyumnya.

"Apa kamu capek dengan bimbingan setiap hari?"

"Mana mungkin aku capek kalau pembimbingnya adalah kamu." Itu hanyalah suara hatiku yang tak mungkin terucap. Aku hanya bisa menggeleng pelan untuk menhawab pertanyaan itu.

"Kalau capek, kita bisa menjadwalkan bimbingannya tiga kali saja seminggu. Saya lihat pemahaman kamu juga sudah bagus," tambahnya.

"Gak kok, aku gak capek," jawabku cepat.

Gus Azmi terkekeh, lalu mulai membuka soal lanjutan untukku. Kami mulai membahas soal bimbingan seperti biasa. Sekarang aku sudah mulai bisa berkonsentrasi dengan baik, walaupun kadang masih sering tergoda oleh senyumnya.

Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa selain menjaga pandangannya, Gus Azmi juga sangat menjaga kontak fisik di antara kami atau mungkin dengan semua yang bukan mahramnya. Beberapa kali saat membahas soal tanganku tak sengaja menyenggol jarinya dan secepat mungkin dia menarik tangannya menjauh. Rasanya sangat sulit menemukan pemuda seperti dirinya, yang sungguh mampu menjaga adab dan kehormatan wanita. Pantas saja semua orang begitu menghormatinya.

"Apa ada yang ingin kamu tanyakan?"

Aku menatapnya, memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang mengganggu pikiranku. "Apa Gus Azmi tidak menyukaiku?"

Bisa kulihat jari-jarinya yang menari di atas buku terhenti seketika. Dia menatapku sekejap lalu kembali fokus pada bukunya. "Apa di surat saya, ada kalimat yang menuliskan kalau saya tidak menyukaimu?"

Ta'aruf dalam SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang