Bab 16 Rasa yang Tersembunyi

8.7K 361 3
                                    

Tak ada  satu manusia pun yang tahu isi hati seseorang secara pasti. Kita hanya bisa melihat dari apa yang dia lakukan, dan merasakan dari apa yang kita pikirkan.

==*==

Kangen, satu kata yang aku rasakan saat ini. Ragaku seakan selalu ingin bertemu dengannya tapi apadaya kondisi ini tak memungkinkan. Aku tak bisa melihat Gus Azmi di manapun selama hampir lima hari ini, terakhir kali kita bertatap muka pada malam itu. Malam yang membawaku pada mimpi indah karena senyumnya.

Semua terasa aneh karena ada sebuah ruang di hatiku yang terasa kosong, membuat perasaanku tak nyaman di setiap waktu. Dan ini adalah kali pertama aku memiliki perasaan sekuat ini pada lawan jenis.

Ku coret-coret buku sketsaku di sela pergantian pelajaran, memang sampai sekarang belum sekalipun aku masuk ke dalam ekskul desain karena kesibukan bimbingan olimpiade. Padahal aku sangat penasaran dengan pelajaran desain yang akan di berikan oleh seorang Bu Nyai pondok pesantren.

Aku mulai larut dengan dunia kertasku, menarikan ujung pensil membentuk sebuah gaun pengantin islami yang cukup indah bagiku. Tak ku hiraukan suara salam dari seseorang yang baru saja memasuki kelas, sampai sebuah suara deheman membuatku  tersadar.

Ternyata seseorang yang menghantui pikiranku akhir-akhir ini sudah berdiri tepat di depan mejaku, memberi tatapan teduh yang semakin membuatku membeku.

Seperti biasa, tubuh ini selalu bereaksi berlebihan saat di dekatnya. Seluruh sarafku seakan menegang, bahkan hanya untuk bernafas pun terasa begitu sulit.

"Hal anti bikhair?" tanya Gus Azmi sambil menopang ke dua tangannya di meja.

"I am fine," jawabku refleks yang dihadiahi tawa oleh seisi kelas.

Gus Azmi hanya menanggapinya dengan senyum kecil sembari berujar, "Jangan suka melamun, nanti digoda setan."

Aku tersenyum kikuk sambil menunduk. "Afwan."

Ternyata Gus Azmi hari ini bertugas untuk menggantikan Ustad Ridwan yang sedang sakit, itu berarti nanti dia juga akan kembali membimbingku.

Gus Azmi kembali ke depan dan mulai membahas materi tentang persamaan lingkaran. Menerangkan bagaimana menciptakan rumus titik tengah lingkaran dengan jari-jari. Gayanya mengajar sangat mudah dipahami dan jauh dari kesan membosankan, ditambah dengan penampilannya yang membuat siapa saja enggan menutup mata.

Sepertinya pepatah yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang sempurna itu bohong, karena pemuda di depan sana adalah wujud manusia yang sempurna di mataku.

Gus Azni terlihat mulai menuliskan satu soal di papan kemudian berseru, "Sekarang, siapa yang bersedia mengerjakan soal ini?"

Seketika kuangkat tanganku tinggi-tinggi, tentu saja dengan mudah aku mampu mengerjakan soal tersebut karena aku telah mempelajarinya jauh-jauh hari, bahkan aku telah mempelajari semua materi matematika sampai kelas XII.

"Silahkan maju," ucapnya.

Dengan langkah pasti aku maju ke depan, pandanganku tak pernah lepas darinya. Tapi seperti biasa, dia tak benar-benar menatapku.

Aku mulai menghitung panjang diameter sesuai dengan persamaan lingkaran yang ditulis di sana. Tapi tiba-tiba wangi maskulin itu menggelitik indra penciumanku dan membuyarkan konsentrasiku.

"Apa masih bingung?" tanyanya dengan jarak yang begitu dekat di sampingku.

Jangan ditanya seperti apa detang jantungku saat ini, seakan jantung itu ingin meloncat dari tempatnya. Belum lagi tanganku yang tiba-tiba bergetar pelan, sontak menciptakan senyum geli di bibirnya.

Ta'aruf dalam SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang