Bab 28 Semua Berubah

9.6K 711 97
                                    

"Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”
(Qs. Ali Imran : 173).

Ana Fitria, gadis manis, bijaksana dan begitu baik hati. Keramahannya membuatku nyaman kala berada di sini, dan ketulusannya benar-benar bisa aku rasakan. Namun, hanya karena rasa cemburu, dia menghancurkan semuanya, menghancurkan kepercayaanku, rasa sayangku serta persahabatan kami. Sekarang di mataku, dia tak lebih hanya seorang gadis munafik yang menyebalkan.

Suasana kamar menjadi dingin dan terasa canggung, permasalahanku dengan Ana mempengerahui juga semua anggota kamar. Aku tetap bungkam dan tak berbicara dengan siapapun, terserah mereka mau memandangku seperti apa.

Aku berjalan sendirian menuju ke Madrasah, dari kejahuan bisa kulihat Ana tengah berbicara dengan Gus Azmi di depan kelas. Aku tersenyum miring, semakin terlihat sifat asli gadis itu, mungkin dia sekarang beralih mendekati Gus Azmi karena Ali terancam dikeluarkan.

Sangat teringat jelas kenapa kemarin Ana tak menanyakan keadaanku, karena pada dasarnya dia memang telah mengetahuinya. Bahkan mungkin dia bahagia atas penderitaanku saat ini, dan besar kemungkinan dia juga yang telah menyebarkan berita tentang masalahku dan Ali.

Ragaku berada di kelas, tapi pikiranku berkelana kemana-mana, tak satu materi pun yang bisa masuk di otakku saat ini. Barang bukti adalah hal yang  harus segera kudapatkan, tapi bagaimana dan seperti apa, itulah yang harus aku cari tahu.

Setelah pelajaran Nafwu selesai, aku memutuskan untuk keluar kelas dan membolos di pelajaran ke dua. Ruangan yang akan aku datangi adalah lab komputer, di mana satu-satunya ruangan yang bisa digunakan oleh santri untuk mengetik dan mencetak hasilnya. Aku harus mencari bukti siapa pembuat surat tersebut, karena hanya dengan buku diary Ana tak akan membuktikan apa-apa, walaupun pikiranku tetap tertuju pada gadis itu.

Langkahku terhenti di ambang pintu ruang komputer, bukan karena ruangan itu sedang digunakan untuk pelajaran melainkan karena mataku melihat seorang wanita cantik duduk sendirian di depan salah satu komputer.

Neng Wirdah.

Untuk apa dia di sini?  Bukankah ruangan ini diperuntukkan hanya untuk santri, lagipula tak mungkin dia tidak mempunyai laptop sehingga harus menggunakan komputer di sini. Wanita itu terlihat begitu serius, dengan kening yang beberapa kali terlihat berkerut. Belum selesai kebingunganku, tiba-tiba terdengar suara di belakangku.

"Sedang apa di sini?"

Sontak aku berjingkat kaget dan berbalik badan, aroma kayu-kayuan yang maskulin seketika memenuhi indera penciumanku. Tak perlu mendongak untuk mengetahui siapa pemilik tubuh tegap di hadapanku saat ini.

"Maaf ... aku ...."

"Jangan selalu melakukan kecerobohan sehingga akan menyulitkanmu." Suara itu tegas dan dingin, membuat sudut hatiku serasa dicubit.

Ku beranikan untuk mendongak, menatap tajam matanya yang juga tak kalah tajam. "Apa aku salah kalau ingin mencari bukti?" Suaraku sedikit meninggi, dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhku.

"Tak ada yang perlu kau cari, kembalilah ke kelasmu," ucap Gus Azmi lalu melenggang melewatiku.

Aku lelah menangis, tapi sikapnya kali ini benar-benar memancing air mataku untuk keluar. Kenapa dia tiba-tiba berubah? Tak ada lagi sosok teduh dan santun yang biasa kulihat dalam dirinya.

Ta'aruf dalam SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang