Bab 25 Salah Faham

8.1K 363 10
                                    

Pagi ini aku bersiap untuk berangkat ke sekolah, tak lupa mematut diriku di depan cermin untuk memastikan tak ada masalah dengan penampilanku. Wajahku masih sama seperti pertama aku datang ke sini, hanya terlihat sedikit lebih tirus dan tampak natural tanpa polesan makeup apapun.

Tiba-tiba penggalan kalimat dari surat Gus Azmi terlintas di kepalaku, membuatku terpaku menatap wajah dari balik cermin ini.

Lagipula seharusnya kamu bersyukur telah diciptakan dengan fisik yang indah, dan aku yakin hatimu pun seindah fisikmu. Mungkin cukup tutur katamu yang perlu diperhalus untuk ukuran seorang muslimah.

Aku tersenyum, dia memang pemuda yang mampu membawaku menjadi manusia lebih baik. Jadi kuputuskan untuk mengubah gaya bicara ala Jakarta menjadi lebih sopan.

"Ih kenapa senyum-senyum gitu, ngeri aku," goda Ami yang tiba-tiba menowel pipiku.

"Mana Ana?" tanyaku sambil merapikan jilbab.

"Uda berangkat ... biasa jadwal piket kelas."

Aku mengangguk lalu mengambil tasku. "Yuk berangkat."

Aku merasa pagi ini cuaca begitu cerah, matahari memancarkan sinar hangat yang begitu ramah. Mungkin karena efek dari hatiku yang juga berbunga-bunga. Kusapa setiap santri yang kutemui, entah itu kukenal atau tidak, yang pasti kusebarkan salam ke mana-mana.

Saat akan berbelok ke kelas, aku melihat Ali baru saja keluar dari ruang pengajar, dengan tumpukan buku di tangannya. Kudekati dia sembari mengucap salam, sontak membuatnya menurunkan tumpukan buku yang menutupi wajahnya.

"Waalaikumsalam Fatimah...." jawabnya dengan senyum ramah seperti biasa.

"Kenapa gak ada yang bantuin?"

Dia terkekeh. "Biasalah kalau yang berat-berat gini gak ada yang mau bantu."

"Mau gue ... eh, aku bantuin?" tanyaku basa-basi, ternyata gak semudah itu merubah kebiasaan berbicara.

"Boleh, tapi entar kalau kamu dihukum jangan ngajak-ngajak aku ya," jawab Ali sambil menahan tawa.

Aku hanya manyun dan malah membuatnya tertawa lebar.

Pondok ini terkenal cukup ketat dalam mengatur hubungan dengan lawan jenis. Semua santri putri memang dilarang memasuki area pondok putra sendirian tanpa ada alasan yang jelas, begitupun sebaliknya. Tapi untuk santri putra masih lebih longgar untuk memasuki area pondok putri karena masjid besar, juga ruang pengajar berada di pondok putri.

"Uda ya, ini bukunya uda ditungguin sama Gus Azmi," ucapnya.

Ya, aku tahu buku yang Ali bawa adalah buku paket Matematika. Tapi jam pertama ini di kelasku juga ada pelajaran Matematika, berarti besar kemungkinan Gus Azmi tak mengajar di kelasku pagi ini.

"Oke, silahkan," jawabku sambil bergeser untuk memberi jalan.

"Assalamualaikum Fatimah."

"Waalaikumsalam."

Baru beberapa langkah Ali berjalan, tiba-tiba dia kembali berbalik seraya berucap, "Kamu lebih cocok bicara aku-kamu kayak tadi."

Tak terasa senyumku mengembang, memang anjuran Gus Azmi selalu tepat untuk kebaikanku.

Aku sampai di kelas saat Eliana membagikan buku paket Matematika yang kami kumpulkan kemarin, setelah itu Ustad Ridwan datang dan membahas bab selanjutnya.

Tepat saat aku membuka halaman yang diminta oleh Ustad Ridwan, mataku menangkap sebuah kertas yang terselip di halaman sebelumnya. Keningku berkerut sambil mengambil kertas tersebut, tapi aku belum berani membukannya dan memilih untuk menyimpan di saku seragam.

Ta'aruf dalam SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang