Di luar sana banyak yang menginginkan makhluk kecil itu.
Di luar sana ada yang tidak bersyukur dan membuangnya tanpa rasa bersalah. Lalu, di mana letak hati nurani itu? Di mana letak rasa syukur itu? Apakah masih ada?
🎵🎵🎵
Beberapa bulan kemudian. Nada dan Naufal pergi ke rumah sakit.
"Sebenarnya saya berat untuk mengatakan ini. Maaf sekali Bu ... Ibu tidak bisa hamil."
Nada menangis sejadi-jadinya sedangkan Naufal mengacak rambutnya frustasi.
Sepanjang perjalanan pulang, Naufal hanya diam diiringi tangisan Nada.
Sungguh Nada merasa bersalah. Dia langsung masuk ke kamar dan menangis tiada henti.
Naufal mendudukkan tubuhnya di sofa dengan perasaan yang tidak terdefinisikan. Dia ingin sekali mempunyai anak tapi kenyataan ini harus dia terima. Setelah lama bergelut dengan pikirannya sendiri. Adzan maghrib membuatnya bergegas keluar dari rumah, sama sekali tidak berpamitan.
Di sanalah Naufal, di dalam masjid dengan tangan yang terangkat dan untaian doa di dalam hatinya. "Ya Allah, bantulah hamba agar ikhlas menerima takdir yang Engkau berikan." Dia Masih enggan beranjak dari masjid. Pikirannya masih kacau, lalu dia mengotak-atik ponselnya. "Jadi gitu, Mi. Naufal gak tau harus gimana, jujur Naufal sangat kecewa."
"Nak, terima apa yang sudah menjadi takdir kita, belajarlah untuk berlapang dada. Umi tau, ini pasti berat buat kamu, buat Umi juga, Umi pengen banget punya cucu tapi balik lagi, ini pasti yang terbaik. Cintai seseorang itu karena Allah."
"Iya Mi, Naufal tutup telponnya, ya, udah mau isya, ni. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Perlahan Naufal melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Dia masih mendengar isakan kecil dari arah kamar.
Nada mendongakkan kepalanya melihat Naufal.
Betapa kagetnya Naufal saat melihat kondisi Nada yang menangis sedari tadi sampai sekarang. Bisa dibayangkan mata istrinya yang sudah membengkak itu.
"Apa kamu jijik liat aku? Hiks ... Aku gak bakal bisa kasih kamu anak. Hiks ... Hiks ... ."
Naufal memeluk erat tubuh Nada.
Nada semakin bergetar. "Maaf. Hiks ... Hiks ... ."
"Ini bukan salah siapa-siapa, ini udah takdir Allah, kita harus belajar menerima ini semua," ucap Naufal pelan. Dia tau yang paling terpukul di sini adalah Nada.
Tak ada jawaban hanya isakan yang terdengar.
"Udah, jangan nangis lagi." Naufal melepaskan pelukannya dan menghapus air mata Nada yang tidak ada bosan-bosannya mengalir.
"Kalo ... kalo kamu pengen punya anak, silahkan cari wanita lain. Hiks."
"Nada, hey! Aku mencintaimu, apapun kelebihan dan kekuranganmu akan ku terima. Udah ya, jangan dipikirin lagi, aku udah ikhlas kok." Naufal kembali memeluk Nada, bukannya diam, Nada semakin menjadi menangis. Dia merasakan tubuh Nada sangat panas. "Nada, kamu demam?" Tak ada jawaban, yang dirasakan Naufal tubuh istrinya itu menggigil, ia semakin mengeratkan pelukannya. "Udah ya, sayang, jangan jadiin ini beban pikiran kamu."
Isakan itu perlahan mereda, sunyi, sepi, tak ada lagi isakan setelah sekian menit. Naufal melihat Nada yang tertidur dengan napas teratur di dalam pelukannya. "Ya Allah, Nad, badan kamu panas banget." Dia membaringkan tubuh Nada dengan pelan di atas kasur empuknya, lalu segera ke dapur dan mengompres kepala Nada, setelah itu ia membaringkan dirinya di samping sang istri.
"Maaf ... ."
Suara bergetar itu membuat Naufal terbangun lalu melihat Nada masih terpejam dan menggigil. "Sampe kebawa mimpi." Dia mengusap-usap kepala Nada. "Ya Allah, kuatkanlah istri hamba, bantulah dia agar bisa ikhlas dengan semua ini," batinnya. Dia tidak tega melihat kondisi Nada sekarang.
"Jangan. Jangan tinggalin aku. Aku sayang sama kamu, Naufal!"
"Nada, hey bangun."
Nada perlahan membuka matanya. "Jangan tinggalin aku. Hiks."
"Aku di sini, gak akan ninggalin kamu." Melihat Nada yang semakin menggigil, Naufal memeluk Nada. "Sekarang tidur lagi, ya."
Layaknya anak kecil, Nada mengangguk pelan. Dia merasa nyaman saat berada di dekapan hangat ini.
Adzan subuh berkumandang. Naufal sebenarnya tidak tega untuk membangunkan Nada yang baru saja tertidur, tapi dia juga tidak mungkin jika menolak panggilan Allah lewat suara adzan. "Nada."
"Eughhh ... ."
"Udah adzan, sholat subuh dulu yuk." Naufal membantu Nada untuk bangkit, bahkan berjalanpun dia harus memegangi istrinya. Mungkin kaki istrinya masih lemas. Dia memilih untuk sholat di rumah. Dan, di sinilah hamparan sajadah dan kiblat yang sama, keduanya tengah menghadap Rabbnya.
Cukup lama Nada mencium punggung tangan suaminya. "Maaf," lirihnya.
Naufal dengan segera memeluk Nada sambil mengelus kepala istrinya yang masih tertutup mukena.
Ana berharap pesan dari part ini semoga tersampaikan kepada pembaca sekalian😊. Terima kasih atas vote dan komentarnya. Kritik dan saran dari kalian selalu ana tunggu. Kalo ada kesalahan penulisan langsung kasih tau aja😄.
Jangan lupa bersyukur hari ini😉.
Jangan lupa baca Al-Qur'an hari ini ya❤.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADA RINDU [END]
SpiritualBelum direvisi. Rank #29 in Menunggu (16-04-2019) Rank #137 in Rindu (06-02-2019) Berteman sejak kecil membuat Nada terbiasa dengan adanya Naufal. Terlebih lagi Naufal orang yang suka bercanda, dan hal itu membuat Nada nyaman. Meski Naufal sejak kec...