26. Weird

131 22 0
                                    


Ten melangkahkan kakinya agak lebar dan cepat. Menyusul Ayu di koridor yang sama, yang sejak mereka membeli kado untuk Tasya dia menjadi tidak seperti biasanya, Ayu yang ceria dan manis sekarang berubah murung dan lebih judes.

Kemarin Ten sempat menanyakan keadaan gadis itu via videocall, namun Ayu hanya bilang dia baik-baik saja dan hanya butuh waktu sendiri, hal tersebut  membuat Ten khawatir setengah mati karena air muka Ayu pada saat itu tampak sangat tidak baik-baik saja.

"Ayu!"

Ayu langsung berhenti, namun tidak menoleh.
Kentara sekali menunggu Ten menghampiri.

"Kamu baik-baik aja, kan?" Tanya Ten langsung ketika sampai di dekat Ayu yang menatapnya datar.

Ayu hanya tersenyum kecil, terpaksa.

"I am fine, Kak." Jawabnya singkat namun tersirat kelelahan di suaranya.

Ten menatap Ayu lamat, memperhatikan bawah mata Ayu yang menghitam, ia menghela napas panjang.

"Oke, kalau ada apa-apa jangan sungkan cerita sama saya ya? Saya sayang kamu."

Ayu terdiam sebentar seperti terkejut, lalu mengangguk kaku sembari tersenyum getir.
Setelahnya Ayu langsung pergi tanpa berbicara apa-apa lagi, meninggalkan Ten yang menatap punggung kecilnya dengan tatapan tak terbaca.

_____

"Ayu Salfan!"

Suara keras beserta gebrakan meja dari depan kelas mengembalikan kesadaran Ayu dari dunia  lamunannya. Ia mengerjapkan mata lalu menatap orang yang memanggilnya penuh kemarahan. Beliau adalah Pak Ujang, guru pendidikan kewarganegaraannya yang sedang menatapnya nyalang.

Ayu menelan ludahnya kasar, "I--iya, pak?"

"Keluar kamu! Berdiri di lapangan dan hormat bendera sampai jam istirahat, sekarang!"

Ayu setengah terpaksa bangkit dari duduknya, tanpa membantah ia keluar diiringi bermacam-macam tatapan dari teman-teman sekelasnya. Mark menatap punggung chairmate- nya dengan tatapan tak terbaca.

_____

Panasnya matahari tak membuat Ayu lelah sama sekali, atau parahnya pingsan. Dia gadis yang kuat--setidaknya kalimat itu yang dia rapalkan sedari tadi dalam hati, guna menguatkan dirinya sendiri yang sebenarnya rapuh.

Mentari di atas sana memang tak nampak, melainkan tersembunyi di balik awan kelabu yang tebal. Meninggalkan rasa sendu bagi beberapa orang, termasuk seorang siswi yang sedang berdiri sembari hormat pada bendera, Ayu.

Ayu menatap bendera merah putih yang berkibar tertiup hembusan angin dengan tatapan kosong. Pikirnya berkelana. Hingga setitik air jatuh mengenai ujung sikunya yang tertekuk, lalu disusul rombongan air lain yang seperti tumpah ke bumi. Ayu tak lekas berteduh, hanya menurunkan tangan lalu menengadah. Ia memejamkan mata, setitik air dari sudut matanya ikut luruh bersama hujan.

Saat hujan deras seperti ini adalah kesempatan emas bagi seorang gadis rapuh sepertinya untuk menangis dan menumpahkan segala kesah dalam bentuk air mata tanpa dilihat siapapun, ditambah suara hujan deras yang bisa meredam suara tangis dan isaknya. Ayu menangis keras, namun sedihnya tak lekas meluruh, apalagi hilang, hanya menambah sesak.

Ayu jatuh terduduk, menunduk dalam dan terisak-isak. Matanya perih, badannya letih, hatinya merintih.

"Astaghfirullahaladzim..."

Berkali kali ia mengucapkan istighfar,  menguatkan dirinya sendiri dengan mengingat Allah SWT yang tak pernah absen menjaganya hingga kini. Menenangkan hatinya sendiri.

[1] HEY, AYU! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang