Penghujung

208 18 0
                                    

.

Jingga terlukis di langit sore itu. Hembusan bayu terasa dingin karena tadi tangis alam turun deras.

Sang adam masih tergugu di tempatnya. Seketika bayangin gadis ayu itu melintas di pikirannya. Batinnya sungguh berkecamuk. Menahan rindu pada yang tak bisa digapai. Ah, malangnya.

Masih teringat jelas saat-saat gadis ayu itu bersuara dengan ceria, bercerita penuh ekspresi sambil menyuap ayam goreng kesukannya. Lagi, menorehkan  rindu yang semakin dalam.

Hingga dering ponsel mengacaukan hampir seluruh pikirannya tentang sang gadis ayu. Seperti reflek, tangannya langsung menggeser layar saat dering ke tiga.

"Halo."

"Kakak lupa ya? "

Dahinya mengernyit, "Ha?"

"Tuh kan, lupa! Jemput aku sekarang di rumah yang tadi,"

Dia menepuk dahi. Oke, ternyata ia benar-benar lupa.

"Gak pake lama!"

"Oke."

Bip.

Menarik napas sejenak ia lantas berdiri dan menyambar kunci mobil di nakas setelah menutup pintu balkon kamarnya. Langkah lebar membawa ia ke garasi dengan cepat lalu melaksanakan tugasnya dengan segera sebelum ada peperangan mulut yang dipastikan dia akan kalah.

****

"Kakak tunggu depan gang."

Bip

Meletakkan lagi ponsel ke samping kemudi, ia lalu menunggu tanpa mematikan mobil. Sembari menunggu arah pandangnya memutar, menatap tempat yang dulu sering ia lewati untuk dapat ke hunian gadis itu. Ah, gadis yang sama dengan tokoh melamunnya tadi.

Brak!

Seorang gadis baru saja masuk dan menutup pintu mobil. Meletakkan plastik hitam di kursi belakang, ia lalu memakai seatbelt  sambil menjelaskan sesuatu.

"Maaf lama, tadi Enyak ngajak ngobrol dulu."

Sang Adam menggeleng, "Gapapa. Enyak apa kabar?"

"Eh? B-baik,"

"Kakak kenal Enyak?"

"Ibunya temen."

Hanya 'oh' panjang menjadi penutup percakapan sebelum mobil melaju dari sana. Meninggalkan tempat yang sama setelah bertahun-tahun menahan diri ah ralat, tepatnya memaksa diri agar tidak kembali ke sana karena yang dicarinya sudah tidak ada.

"Temen kamu ngekos di situ?"

Sang gadis mengangguk, "Iya, kak,"

"Eh, kak kak tau gak?" Tanya sang gadis antusias.

"Kosannya itu asri banget tau, rindang gitu. Banyak pohon di halaman kosan. Jadi adem gitu bawaannya. Tadi adek aja hampir ketiduran,"

"Terus ya Enyak juga baik, tadi adek di kasih jambu suruh bawa pulang."

"Jadi di plastik item tadi jambu?"

Dijawab anggukan semangat dari sang gadis.

"Besok jemput aku lagi mau gak, kak?"

"Di mana?"

"Di sana lagi. Soalnya kerja kelompokku belum selesai, mau kan?"

Mobil berhenti karena lampu merah.

Ten menoleh lalu memandang gadis di sebelahnya. Tangannya terulur mengusap kepala gadis itu.

"Apa sih yang enggak buat Cilla?"

Gadis SMP itu bergidik geli, "Apaan sih, kak!"

Keduanya tertawa lalu kembali menceritakan kegiatan masing-masing dengan selipan canda.

***

Saya pernah marah dengan Tuhan karena memberi masalah yang tidak ada habis-habisnya di hidup saya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Saya pernah marah dengan Tuhan karena memberi masalah yang tidak ada habis-habisnya di hidup saya. Lalu setelah sadar, saya merasa menjadi manusia paling bodoh sedunia.
Padahal selama ini saya hanya kurang bersyukur, saya hanya sibuk dengan urusan dunia sampai saya lalai dengan tugas dan kewajiban seorang hamba-Nya. Mungkin Tuhan menegur saya dengan cara itu.

Tapi yang saya tau, mau seberat apapun Tuhan memberikan masalah atau ujian, tidak akan lebih besar dari kemampuan hamba-Nya dalam menghadapi.
Kehilangan kamu juga termasuk di dalamnya. Maaf, sampai saat ini saya belum bisa ikhlas. Hati saya masih stuck di tempat yang sama.

-Ten, 2027


[1] HEY, AYU! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang