"Tau langit dan bumi kan? Mereka dekat tapi takkan pernah bisa bersatu, seperti aku dan kamu takkan pernah menjadi satu."
====
Langkah kaki Jihan begitu pelan dan tak bersemangat, ia bahkan hanya berjalan tanpa berniat untuk menghibur diri. Walaupun ia berada ditengah keramaian, ia merasa hampa dan kosong. Ia seperti terjebak disebuah kegelapan yang membuat semuanya terasa menyakitkan.
Matanya menatap sekeliling, ia sudah tak melihat mereka. Hanya ada orang yang berlalu lalang dengan tawa dan canda, tak seperti dirinya yang sendiri. Ia tahu, selalu saja seperti ini jika ia ikut.
Terlupakan dan Tak dianggap.
Jihan menghela nafas. Kakinya melangkah kearah cafe yang menyediakan berbagai macam rasa es krim. Ia memilih duduk dipojok menghadap kepintu masuk, saat duduk matanya tak sengaja menatap kedua insan itu.
Hatinya berjengit nyeri. Jihan hanya tersenyum miris. Ia sudah biasa, namun rasa sakit itu semakin luar biasa menyiksa.
"Mbak?" Seorang pelayan menyadarkan dirinya dari lamunan.
"Ha? Oh iya saya pesan es krim coklat dan vanila yah."
"Original?"
Jihan mengangguk.
Setelah itu, ia kembali terdiam. Matanya hanya menunduk, ia menahan air mata yang saat ini tergenang dipelupuk matanya. Bagaimana tidak, ia melihat Arvin mencium kening Clara dan mengelus rambutnya dengan begitu sayang.
"Harus ya luka itu terus kebuka?" Gumam Jihan.
***
Jihan masih berkeliling mall sendiri, ia tak ingin menghampiri Arvin dan Clara. Ia takut jika Arvin atau Clara akan memarahi dirinya.
"Mereka lama." Ucap Jihan sembari melihat jam berwarna putih yang saat ini terlingkar di pergelangan tangannya.
"Udah jam setengah 10 malam aja." Ucapnya melihat sekeliling yang sudah sepi.
Ia ingin pulang, namun ia tau resiko pulang tanpa sepengetahuan Arvin akan lebih sangat berbahaya. Ia melihat security mendatangi dirinya.
"Mbak?" Panggil seorang pria paru baya yang umurnya sekitaran 40-45 itu.
"Iya Pak?"
"Mallnya udah mau tutup Mbak."
"Ha?! Beneran Pak, tapi temen saya masih didalem bioskop."
"Ohh... Mereka bakal lewat tangga belakang Mbak."
"Emang bioskopnya kapan selesai?"
"Sekitaran jam 11 lah Mbak."
"Yaudah, saya keluar aja deh Pak."
Jihan melangkah dengan helaan nafas lelah.
"Pulang aja deh kayaknya. Tapi.... Arvin kalo ngamuk serem juga. Tungguin aja deh."
Yap Jihan lebih memilih menunggu daripada di amuk oleh Arvin. Kakinya sudah pegal berjalan kesana kemari tak tentu arah. Ia memilih duduk ditrotoar jalan gelap didepan pintu masuk mall. Untung semua lampu jalan masih menyala walaupun tak terlalu terang, setidaknya ia tak terlalu takut. Padahal hari ini ia butuh sedikit penerangan agar ia merasa dirinya sedang dalam keadaan aman. Matanya menatap lagi jam tangannya, jarum sudah menujuk kearah jam 11 dan mereka berdua belum pulang. Jihan menenggelamkan kepalanya kedalam lipatan tangannya lalu menutup mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me (?)
Teen FictionJika perpisahan adalah hal yang terbaik. Mengapa kita harus bertemu? Mengapa harus hati yang menjadi korbannya? Mengapa harus ada tangis yang menjadi soundtrack ketika kata pisah yang terucap? Semua hal itu masih terngiang jelas di fikiran Jihan Ana...