"Ternyata alien ini bisa nangis ya," komentarnya.
Air mata Karam kembali luruh, isakanannya tak terkendali, namun sakitnya berkurang ketika ia mendapatkan pelukan hangat dari lelaki dingin. "Ingus lo kemana-mana," protesnya yang membuat Karam jengkel hingga tak ingin menangis lagi.
Lelaki dingin itu, punya cara sendiri untuk menenangkan seseorang.
Karam menyeka hidungnya dengan kaos Badai, membuat lelaki itu menghela napas pasrah. Sejahat-jahatnya Badai, mana tega dia marahin orang yang lagi nangis. Tangisan Karam benar-benar berhenti setelah tujuh belas menit empat puluh dua detik berlalu. Badai memasang stopwatch sembari tak berhenti menggoda Karam dengan memberitahu berapa lama perempuan itu menangis.
"Nanggung, sekalian dua puluh menit gih," komentar Badai saat Karam benar-benar telah menghentikan acara menangisnya.
"Gue kasih ingus nih!" ancam Karam.
"Udah lo kasih kali!" Badai berdecak sambil menatap kaosnya. Untung saja ingus Karam hanya ingus cair yang tidak kental, jadi Badai msih bisa sedikit mentolerir.
Badai berdiri dari duduknya, lalu menaiki motor dan menyalakannya. Ia menoleh kearah Karam yang menatapnya dengan manik menggenang, hendak menangis lagi.
"Ngapain mewek lagi?" Badai berucap dari atas motornya.
"Lo mau kemana?" tanya Karam. Ia tak mungkin kembali ke rumah. Karam terlalu takut untuk kembali ke sana, ia butuh waktu untuk bisa menjadikan rumah itu sebagai tempatnya beristirahat.
Badai tak menjawab, lelaki itu menepuk bagian belakang motornya. "Naik," ucapnya memerintah.
Ada binaran di manik mata Karam. Tak membutuhkan perintah dua kali, Karam langsung menaiki motor Badai dan menyamankan dirinya sendiri. Badai mengulurkan helm hitam miliknya. "Pakai," perintahnya lagi.
"Lo aja," Karam menolak. Selain malas memakai helm besar itu, Karam merasa lebih baik Badai yang memakainya.
"Kalau kecelakaan, kebanyakan yang dibonceng yang meninggal loh. Beneran." Badai berucap sadis.
Karam meringis dan langsung memakai helm hitam itu tanpa berkomentar lebih lanjut. Deruman motor memecah kota Jakarta. Karam duduk dengan tangan yang berada di bagian belakang penyangga. Tak ada adegan romantis karena Karam takut didepak dari motor besar Badai. Namun teriakan Badai mengintrupsinya. "Pegangan!" teriak lelaki itu.
"Ini udah peg—wuaaah!" Karam berteriak dan refleks memegang pinggang Badai.
"Badai anjrit gue masih pengen hidup!!!" teriak Karam yang membuat sudut bibir Badai terangkat. Ini balasan karena membuat kaosnya penuh ingus.
***
Karam mengikuti langkah Badai memasuki café. Karam sendiri baru tahu bahwa café Badai buka hingga tengah malam. Karam berdiri di depan pintu café, melihat beberapa manusia malam yang menempati beberapa kursi di café Badai. Karam berdiri di sana dalam beberapa saat, melihat ketenangan dalam ruangan penuh aroma kopi.
"Minat jadi satpam di sini?" Badai berucap dari pintu café.
"Emang cewek bisa?" tanya Karam nampak berminat.
Kening Badai berkerut. "Kan banyak."
"Gajinya berapa?"
Badai merasa percapakannya dengan Karam terdengar semakin aneh. "Lo nggak bisa bedain bercandaan sama seriusan?"
Karam terdiam, mencerna ucapan Badai. "Badai, kalau mau bikin jokes mending belajar lagi. Coba latihan di depan kaca, kalau perlu godain kacanya. Itu muka waktu bercanda sama serius sama aja! Mana bisa gue bedain!"
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Love Someone
Teen FictionHow to love someone? Ini adalah sebuah pesan. Untuk hati-hati yang terluka di penghujung malam. Untuk rindu-rindu yang tak tersampaikan. Dan untuk tangan-tangan yang tak mendapat balasan. Segala hal tentang cinta memang tidak selalu bahagia, namun...