Meja itu diliputi dengan keheningan, juga aura dingin yang menyesakkan. Menggabungan beruang kutub dan singa laut seakan membuat meja itu serasa dituruni salju. Karam melihat dua orang manusia yang nampak tidak akan bisa akur. Sebenarnya, lidah Karam gatal, ingin bertanya namun ada hal mistis yang membuat Karam tak jadi berucap.
"Badai..." Ketiga orang yang berada di meja yang sama itu menoleh bersamaan. Suara bernada lembut yang begitu familiar di telinga Badai. Perempuan itu, Niken berdiri dengan senyuman lembut yang selalu membuat Badai merasakan desiran aneh. Mungkin juga hingga saat ini.
Badai terpaku pada sosok itu. Niken masih memasang senyum yang sama sembari mengedarkan pandangannya kearah Karam dan Pian. "Sedang mengerjakan sesuatu?" Manik mata Niken memandang dua laptop menyala yang ada di sana. Niken menunggu jawaban dari keitga orang, namun Karam dan Pian hanya memandang Badai. Menunggu lelaki dingin itu membuka suara.
"Tugas," Badai menjawab dengan singkat. Dan seolah terbiasa, Niken nampak begitu paham.
"Aku boleh duduk di sini nggak?" Niken bertanya pada ketiganya, namun Karam dan Pian masih melakukan hal yang sama. Menunggu Badai menjawab pertanyaan itu.
"Ini bukan mejaku," Badai balas menatap Karam, menujukkan bahwa meja ini adalah milik dua pengunjung di depannya. Lelaki itu memberikan kode dengan menyipitkan matanya beberapa kali kepada Karam. Berharap Karam paham dan menolak perempuan itu untuk bergabung bersama mereka. Serius deh, ini akan menjadi meja paling mengerikan jika sampai Niken bergabung bersama mereka.
Karam yang memang tipe orang yang sangat peka, mengangguk kecil pada Badai, membuat Badai diam-diam menghela napas lega. "Silahkan-silahkan... Makin banyak orang makin asyik!" seru Karam dengan ramah. Tak lupa memberikan kedipan pada Badai bahwa ia memahami maksud Badai.
Pian menahan tawanya dan Badai mencoba menyembunyikan hasrat ingin melempar Karam ke benua yang berbeda. Niken tersenyum senang, menarik kursik di sebelah Badai. Dan Karam merasa bahagia karena merasa seperti cupid yang menyatukan sepasang mantan kekasih. Kalau mereka jadian dan menikah, Karam akan merecoki hidup keduanya dengan kalimat, kalau nggak ada gue, kalian nggak bakal balikan, jadi kasih gue duit yang banyak. Pemikiran Karam tentang uang memang super sekali.
"Kita ketemu lagi," Niken membuka suara berharap ketegangan yang tercipta hilang seketika. "Kamu cewek yang ada di perpus kemarin kan?" Niken nampak ramah, membuat Karam sedikit salah tingkah. Niken memiliki aura lembut seperti seorang bangsawan, itulah yang Karam pikirkan tentang perempuan itu.
"Ah, iya... Namaku Karam Anantavirya, kak..." Karam berucap dengan sedikit ragu pada panggilan yang ia tujukan pada Niken. "Aku panggilnya Kak Niken nggak apa-apa ya?"
Niken tertawa kecil. "Santai aja, nggak usah kaku begitu ngobrolnya. Panggil Niken aja juga nggak apa-apa."
"Kak Niken kan kakak tingkat, jadi harus sopan dong..." Karam tersenyum dengan lucu. Di sebelah Niken, Badai menyahut.
"Lo nggak ada sopan-sopannya sama gue tuh," komentar Badai pedas. Tapi sayangnya Karam suka yang pedas-pedas, jadi tidak berefek padanya.
"Beda lah..."
"Apanya yang beda?"
"Mana boleh sopan ke titisan setan. Entar kena laknat Tuhan gue yang repot."
Badai menatap Karam dengan kekesalan maksimum. Sumpah deh ini kucrut satu, nggak ada takutnya jadi orang. Mau marah tapi bakal kelihatan kalah, jadi yang bisa Badai lakukan adalah mengatur napas dan menggumamkan kata sabar berkali-kali.
Di samping Karam, Pian tertawa tanpa tahu situasi. Lelaki itu menepuk-nepuk punggung Karam hingga membuat perempuan itu mengaduh.
"Pian sakit bangs... ehem... sakit Pian!" Karam sungguh kesal dengan kebiasaan Pian yang satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Love Someone
Teen FictionHow to love someone? Ini adalah sebuah pesan. Untuk hati-hati yang terluka di penghujung malam. Untuk rindu-rindu yang tak tersampaikan. Dan untuk tangan-tangan yang tak mendapat balasan. Segala hal tentang cinta memang tidak selalu bahagia, namun...