Vote sebelum baca...
TInggalkan komentar. :)
Minal aidzin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin ya bosque...
***
Karam menundukkan kepalanya sambil membuang muka. Berada di café Badai bukan hal aneh bagi Karam yang terbiasa mengerjakan projek bersama Badai. Namun, kali ini ia tidak menyangka jika Nissa dan teman-temannya datang untuk menghabiskan waktu di sana. Dari sekian waktu yang ada, mengapa mereka harus datang ketika Karam butuh penghiburan. Rasanya sangat menyebalkan mendengarkan ejekan yang sengaja dikeraskan itu.
"Udah punya pacar masih aja deketin cowok lain, murah banget nggak sih?"
Karam mencoba untuk menulikan pendengaran. Ia memandang kearah ruang staf tempat Badai menghilang dengan alasan mengurus sesuatu. Katanya tidak akan memakan waktu lama, tetapi ini sudah hampir tiga puluh menit tetapi lelaki itu belum menunjukkan batang hidungnya.
"Dia mah nggak perlu ditanya lagi, bakat jadi pelakor."
Telinga Karam seakan memanas, begitu pula dengan hatinya. Ia menarik napas dalam kemudian berdiri. Menatap meja Nissa yang berisi tiga orang kemudian menarik kursi dan duduk bergabung dengan mereka.
Nissa, Wulan, dan satu orang yang tidak ia ketahui namanya nampak terkejut bukan main. Meja yang sebelumnya ramai itu mendadak hening dengan bergabungnya Karam di sana. Karam menyangga dagunya dengan sebelah tangan, merasa puas melhat keterdiaman mereka. "Kenapa diam? Lanjutin aja," ujar Karam dengan wajah dinginnya. Ia lelah menjadi bahan gunjingan, ia lelah selalu ditindas, ia lelah mendapatkan segala luka.
Rasa frustasi seolah mendesak Karam untuk tidak diam saja. Mungkin saling memukul dan mengacau bisa menjadi salah satu pilihan di tengah emosinya yang sejak awal tidak stabil. Singkat kata Karam memerlukan pelampiasan dan kebetulan mereka mencari gara-gara dengannya.
"Gue ngerasa aneh deh sama kalian. Hidup kalian segitu nggak asiknya ya, sampai ikut ngurusin hidup orang lain?" Suara Karam begitu tajam. Manik matanya terasa menantang berbanding terbalik dengan Karam yang biasanya selalu menghindari masalah.
Mereka seringkali mengganggu Karam di area kampus dan Karam tidak ingin beasiswanya bermasalah dengan meladeni mereka. Namun saat ini mereka berada di luar kampus, pada hari libur, dan Karam sedang begitu sensitif. Rasanya kuku Karam begitu gatal ingin mencakar wajah sok cantik mereka.
"Lo yang aneh. Jadi orang serakah banget. Nggak puas punya Pian sampe deketin Badai?" Wulan berujar dengan nada benci yang ketara. Sesekali melirik kearah Nissa untuk turut membantunya, namun Nissa hanya diam.
Karam mengangkat bahunya acuh. "Kalau iri bilang aja. Daripada lo, deketin satu cowok aja nggak bisa." Karam tersenyum kecil melihat wajah Wulan yang nampak memerah karena amarah. "Makanya jadi orang itu jangan cuma wajah yang dipoles, hati juga, biar nggak sirik aja jadi orang." Berdebat adalah salah satu prestasi Karam. Mulutnya bisa sangat tajam jika diinginkan.
Karam memejamkan mata saat guyuran air menyiram wajahnya. Ia menoleh kearah Nissa yang baru saja mengosongkan gelas dengan tangan yang gemetar. "Gue ngomong sama Wulan tapi malah lo yang marah. Ngerasa ya?" Mengabaikan dirinya yang langsung menjadi pusat perhatian, Karam menarik tisu yang ada di meja untuk menyeka wajahnya dengan gerakan pelan. Tak ada amarah di wajah Karam seolah hal seperti itu bukan masalah besar baginya.
Manik mata Karam menyorot tajam kearah Nissa yang memandangnya penuh kebencian. Rasanya masih menyakitkan saat mengingat mata yang sama pernah memandangnya dengan begitu bersahabat. Nissa adalah teman pertamanya di kelas, atau mungkin juga satu-satunya. "Jujur ya Nis, gue nggak nyangka kita bakal kayak gini gara-gara masalah cowok. Mumpung lo di sini, kita duduk di meja yang sama, kenapa nggak sekalian aja kita bahas masalah kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Love Someone
Fiksi RemajaHow to love someone? Ini adalah sebuah pesan. Untuk hati-hati yang terluka di penghujung malam. Untuk rindu-rindu yang tak tersampaikan. Dan untuk tangan-tangan yang tak mendapat balasan. Segala hal tentang cinta memang tidak selalu bahagia, namun...