Chapter 21: Pacaran

3.7K 839 145
                                    


Baca di tempat paling nyaman...

Jangan lupa vote dan komentar...

***


Bukan hanya Tuhan yang bisa membolak-balikkan hati, kamu juga.

Karam dan Badai berdiam diri di depan gedung Fakultas Ekonomi. Keduanya baru saja menyelesaikan rapat dadakan mengenai penelitian. Biasanya Karam akan langsung mengoceh atau setidaknya mencari segala cara untuk mendapatkan keuntungan dari Badai. Namun kali ini Karam mendadak menjadi pendiam, bahkan seolah mereka tidak pernah dekat sebelumnya. Mendadak hubungan mereka seperti siang dan malam, setelah sebelumnya seperti bulan dan bintang.

"Badai, gue cabut dulu ya!" Karam nampak tergesa dan gelisah. Memunculkan kecurigaan bagi Badai yang terbiasa menjadikan perempuan itu sebagai obyek pengamatan. Ia dengan refleks mencekal tangan Karam yang hendak pergi.

"Kemana?" Badai tak memikirkan pertanyaan lain. Telapak tangan besarnya masih melingkupi pergelangan tangan Karam dan sorot mata tajamnya nampak berkilat tak suka.

"Café kampus," Karam berujar dengan mata awas. Mengawasi sekeliling dan merasa menjadi obyek pandangan semua orang. Situasi ini tidak lucu sama sekali. Baru beberapa jam yang lalu Karam menjadi sasaran amarah beberapa orang karena adanya gosip dirinya dengan Badai. Dan Kini Badai menarik tangannya di depan umum. "Badai tangan... lepasin," ucap Karam menyerupai bisikan saat lelaki itu tak kunjung melepaskan genggamannya.

Bukan melepaskan, Badai justru menarik Karam lebih dekat padanya. "Kita harus diskusi. Bagi tugas." Setelah mendapatkan logikanya, Badai melepaskan genggamannya dan berucap seperti dirinya yang biasanya. "Kapan bisanya?"

Karam mundur satu langkah, Badai mengernyitkan keningnya tak suka. Hanya perasaannya saja atau Karam sengaja menghindarinya?

"Gue ada kerja, nanti lo sms gue aja gimana?" Karam nampak canggung lebih dari biasanya. Seperti bukan Karam. Badai juga melihat ketidaktenangan di manik mata yang biasanya berbinar-binar memandangnya sebagai sang pembawa kebahagiaan (makanan maksudnya).

Ada jeda dalam percakapan mereka. Lalu Badai membuka suara. "Ada apa?" tanyanya dengan suara dalam dan berat, seolah mampu meresap jauh kedalam hati yang berisi kegelisahan. Jika ada orang yang mengatakan Badai manusia tidak peka, jelas ia salah besar.

"Nggak apa-apa. Gue cuma kepikiran Bang Alex bakal marah-marah karena gue lupa nggak kasih kabar." Ucapan Karam berisi Bang Alex, namun pikirannya tertuju pada Pian. Pian mungkin akan marah jika tahu jika penelitian Pak Burhan melibatkan Badai. Lalu pandangan Karam jatuh pada Badai yang juga menatapnya. Lelaki di hadapannya ini belum mengetahui jika ia dan Pian pacaran.

Jantung Karam berdetak lebih cepat dari biasanya. Apakah ia harus mengatakannya pada Badai? Tetapi tentu akan sangat memalukan jika Badai menjawab dengan ekspresi ketidakpedulian

"Kar, ini penelitian besar. Kita nggak bisa ngerjain kayak kerja kelompok di kelas yang harus bagi tugas. Gue harus tau apa yang lo kerjain dan begitupun sebaliknya. Kita nggak boleh sampai salah konsep." Badai menjelaskan dan Karam merasa seperti anak-anak yang mendapat ceramah.

"Maaf..." Karam bergumam, menyadari kesalahannya. Disini ia harus profesional. Jujur saat bersama Badai, Karam lebih gelisah daripada sebelum-sebelumnya. Ada Pian dan Nissa dalam pikirannya, juga pandangan orang-orang yang menatapnya rendah. "Nanti abis dari café kampus gue ke café lo gimana?"

Itu adalah satu-satunya tawaran yang bisa Karam berikan saat ini. Dan yang menakjubkan Badai dengan cepat menyetujui. "Oke. Lo gue jemput atau gimana? Biar cepet."

How To Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang