Chapter 39: Ego

3K 652 78
                                    

Karam menyibukkan diri dengan makanan yang ada di depannya. Karam bertingkah seolah ia sedang duduk sendiri alih-alih ada seseorang di depannya. Beberapa saat yang lalu, Badai tidak membiarkan Karam pergi begitu saja. Ia membawa Karam dengan alasan mengajaknya makan siang. Badai tahu bahwa Karam tidak memiliki jadwal kuliah setelah ini. Badai tidak datang tanpa rencana. Ia sudah memastikan jadwal Karam melalui teman sekelas Karam, dan informasi yang ia dapatkan cukup membuat Badai penasaran. Seminggu ini Karam merombak jadwalnya sendiri dengan mengikuti kelas lain. Karam seolah ingin menyelesaikan semua ujian dengan cepat.

"Setelah ini kemana?"

Karam mengangkat kepalanya saat mendengar lelaki di depannya bertanya. Ia berada dalam keadaan paling canggung di dunia. Karam berpikir sejenak, mencoba mencari alasan apapun yang sekiranya mampu membuat Karam menjauh dari Badai, hingga hatinya cukup stabil. Karam tidak ingin menyeret Badai ke dalam lingkaran masalahnya. Jikapun hubungannya dengan Pian berakhir, ia tidak ingin menarik nama Badai ke dalamnya. Meski ia sadari atau tidak, Badai selalu berada di tengah-tengah mereka.

"Ada kelas," ujar Karam sambil menundukkan kepalanya. Melihat Badai membuatnya ingin menangis, terlebih ketika ia berbohong seperti ini.

"Bohong," Badai berujar dengan sorot mata tajam. Membuat Karam seakan terpenjara di dimensi yang berbeda. Tentang Badai, lelaki itu seolah bisa berada satu langkah di depan Karam, lalu berbalik dan menunggunya. Menempatkan Karam pada keterdiaman dengan pusat pandang kearahnya. Badai selalu bisa membuat Karam tidak bisa berkutik. "Lo nggak ada jam, setelah ini," ujar Badai dengan begitu yakin.

Karam terdiam, kikuk bukan main. Lalu menarik senyum untuk tertawa canggung. Sedangkan Badai masih menatapnya dengan tajam seolah tidak memberikan celah bagi Karam menyembunyikan diri.

"Gue lihat cowok lo jalan sama cewek lain," ucapan Badai tanpa sadar membuat Karam menahan napas. "Terang-terangan," tambah Badai yang membuat Karam membuang mukanya, memilih untuk tidak menatap manik tajam lelaki itu.

Jantung Karam terasa sesak. Tatapan Badai memiliki makna yang begitu sulit untuk ia terima. "Mereka temenan." Karam berujar dengan nada meyakinkan diri sendiri. Badai tahu bahwa ada yang salah. Namun pada suatu waktu, Badai tahu hal ini memang sepantasnya terjadi.

Badai adalah antagonis. Ia tak bisa mengelak bahwa ia merasa senang dengan hubungan Karam dan Pian yang seakan terjalin di ujung jurang yang curam. Badai menunggu, di tempat gelap sembari berharap ia bisa memiliki perempuan itu untuk dirinya sendiri. Badai tahu bahwa dirinya bukan orang baik, pun mengenai hati, tak ada manusia yang benar-benar baik dan jahat. Segalanya hanya berada pada dimata letak sudut pandang.

"Mereka temenan sampai nggak nganggep lo ada?"

Karam mencengram kepalan tangannya sendiri. "Mereka cuma temenan."

"Oke anggap aja mereka temenan. Temenan yang kayak gimana? Kayak kita?" Badai meletakkan tisu yang sebelumnya ada di sisi kiri lengannya di hadapan Karam. Seolah tahu bahwa perempuan itu bisa menangis tiba-tiba. Melihat tingkah Badai, Karam merenggut sebal.

"Itu bukan salah Pian, gue yang salah." Karam mendorong tisu di depannya dengan kesal. Badai merasa ada kemarahan di hatinya ketika mendengar bahwa Karam bahkan masih membela Pian meskipun lelaki itu jelas berselingkuh di depan matanya. Mencari informasi tentang Karam, Pian, dan Nissa semudah mencari lemari di tumpukan jemari.

"Mereka selingkuh," ucap Badai dengan hati dingin.

"Mereka temenan!"

"Mereka selingkuh." Badai memberikan jeda, sebelum meyakinkan dirinya sendiri bahwa sudah seharusnya ia melangkah. Melewati batas yang digariskan Karam padanya. "Kayak kita."

How To Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang