Chapter 12: Pengamat

4.4K 829 119
                                    

Karam berbincang dengan teman-teman Badai, namun kegelisahan tercetak jelas di wajah cantiknya. Karam nampak beberapa kali menatap gusar kearah luar café. Matanya was-was tiap ada kendaraan yang lewat. Karam belum memiliki ide untuk menghadapi Pian. Lelaki itu pasti akan bertanya tentang luka di pipinya dan membalas si pelaku dengan luka yang lebih parah. Masalahnya adalah pelaku pemukulan sialan ini adalah Ayahnya sendiri. Karam masih bimbang apakah ia harus jujur atau tidak.

"Kenapa?" Badai bertanya pada Karam, membuat perempuan itu terkejut.

"Pian mau kesini," aku Karam dengan sorot mata bersalah. Karam tidak tahu alasan pasti mengapa ia merasa bersalah. "Nggak apa-apa?" tanya Karam memastikan ia tidak akan mendapatkan amarah.

"Café udah tutup," Badai menjawab, pandangannya teralih kearah luar café. Tiba-tiba ikut memperhatikan kendaran yang lewat.

"Jadi nggak boleh?" ulang Karam memastikan.

Badai terdiam sejenak, menarik napas dan menghembuskannya diam-diam. "Gue nggak ada hak buat ngelarang."

Karam menatap Badai dengan bingung. "Gimana sih?"

Badai berdiri dari duduknya, memberikan kode kepada Karam untuk mengikutinya.

"Kemana?" tanya Lisa penasaran. Lisa juga mengamati bagaimana Badai memberikan jaketnya pada Karam. Bukan adegan romantis seperti menyampirkan di pundak, namun untuk ukuran manusia eskimo seperti Badai. Rasanya Lisa ingin bertepuk tangan dan memberikan penghargaan pada si cantik Karam.

"Cari angin," Badai menjawab dan berjalan lebih dulu, diikuti oleh Karam yang sedikit kebingungan. Perempuan itu kini seakan tenggelam dalam jaket denim khas lelaki kepunyaan Badai. Mereka berdua kini duduk di bagian luar café. Meja kayu bulat dan kursi nyaman dengan lampu temaran berwarna kuning remang-remang.

Karam masih mengamati situasi yang ada. Badai adalah simbol dari kemisteriusan dengan campuran hal mistis. Karam selalu menebak-nebak lebih dulu hal apa yang akan dilakukan lelaki itu.

"Udah baikan?" Suara Badai yang serak menyatu bersama angin. Karam tidak mengerti mengapa pertanyaan sederhana itu seakan memberikan percikan aneh pada dirinya. Setelah waktu berlalu begitu lama, Badai baru mengajukan pertanyaan yang sedari tadi dicemaskan oleh Karam.

"Kenapa baru tanya sekarang?" Alih-alih menjawab, Karam malah turut bertanya. Ia hampir mengatakan baik, berkat lo. Namun, hal lain mengusiknya. Tentang mengapa Badai berbeda dengan orang kebanyakan. Manusia normal lain akan langsung bertannya kenapa saat melihat orang yang dikenalnya menangis, namun Badai seolah menyimpan pertanyaan itu. Awalnya Karam mengira bahwa Badai tidak peduli dan Karam memahami hal itu. Dia adalah Badai, manusia cuek dan dingin yang seakan punya dunianya sendiri.

"Karena lo kelihatan udah sedikit sembuh." Suara Badai mengalun dengan fraksi yang berbeda dari biasanya. Lelaki itu masih terlihat seperti titisan iblis namun ada perhatian yang menyeruak di sana. Seakan paham, kata sembuh yang dimaksud Badai bukan lebam di pipinya, melainkan luka sayat di hatinya.

Tidak semua orang merasa lebih baik ketika ditanyai saat sakit hati. Pertanyaan itu kadang begitu mengganggu, memberikan luka baru. Tidak semua orang ingin berbagi. Ada batasan-batasan bagi tiap orang.

Karam mengulum senyum, tidak menyangka Badai yang dingin sebenarnya memiliki kehangatannya sendiri. "Badai, lo sadar nggak kalau sebenernya lo itu orang yang perhatian."

Badai nampak terkesiap, ia mengalihkan pandangannya menatap jalanan yang gelap. "Nggak," jawabnya cuek.

Karam tertawa kecil, kali ini terlihat seperti Badai sungguhan. "Sebenarnya lo pengen tahu kan, tapi lo takut buat nanya." Karam bukan cenayang. Ia tidak bisa membaca kartu tarot. Tapi Karam memiliki keahlian dalam membaca situasi dan memahami seseorang. Keahlian itu ia dapat setelah mengikuti puluhan lomba debat, tak heran jika perempuan itu bisa membaca manusia paling misterius seperti Badai. "Lo takut kalau lo tanya, lo bakal bikin gue makin sakit? Bener?"

How To Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang