Chapter 30: Badai dan Pian

3.6K 733 197
                                    

Vote dan komentar...

Jangan lupa ibadah. Baca di tempat paling nyaman. Hati Badai misalnya.

***

"Hal yang paling aku takutkan adalah kamu lebih nyaman sama orang lain daripada sama aku."

Pian menatap ponselnya dengan cemas, lalu sesekali menengok kearah ruang bersalin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pian menatap ponselnya dengan cemas, lalu sesekali menengok kearah ruang bersalin. Jadwal bersalin Ibunya diprediksi akan tiba tiga minggu lagi, namun siang tadi tiba-tiba ibunya berteriak dan memanggil-manggil nama Pian. Pian bersyukur ia mendegarkan tuturan Karam untuk lebih sering berada di rumah.

Rasanya nyawa Pian diambil paksa saat melihat Ibunya terduduk di lantai kamar dengan air bercampur sedikit darah yang menggenang di sana. Pian bahkan harus mengumpulkan nyawa saat menggendong Ibunya yang beratnya bukan main ke dalam mobil. Ayahnya memang selalu meninggalkan mobil saat Ibunya bekerja, takut jika hal seperti ini terjadi.

Jantung Pian bertalu dengan keras dan tangannya gemetaran saat melihat Ibunya langsung masuk ke dalam UGD. Saat Pian bertanya pada salah satu suster, mereka menjelaskan tentang bukaan yang Pian tidak paham sama sekali. Tak ingin terlalu banyak berpikir, Pian langsung menghubungi Ayahnya dan tak lama kemudian sang Ayah datang bersamaan dengan Duta.

Dan sekarang, hati Pian sedang double gundah gulana. Rasanya otak Pian berasap saat membayangkan Karam sedang bersama Badai. Beberapa saat yang lalu Pian menelepon Badai, meminta tolong pada rivalnya untuk menemani kekasihnya. Sungguh, Pian berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Ibunya sedang berjuang dan Karam menangis. Karam jarang menangis dan sekalinya ia membutuhkan Pian, Pian tak ada di sampingnya.

Menghubungi Badai memerlukan lebih dari sekedar mengesampingkan rasa gengsi. Ia harus mengesampingkan rasa takutnya, takut kehilangan Karam. Hal yang paling Pian takutkan saat ini adalah, saat kekasihnya lebih nyaman dengan lelaki lain dibandingkan dengan dirinya.

"Masih belum keluar juga Yah?" tanya Pian terlihat frustasi. Jika dedek bayinya sudah keluar Pian pasti akan langsung meluncur ke tempat Karam. Rasanya Pian ingin ikut menangis.

"Masih bukaan lima," jawab Ayahnya setelah keluar dari tempat bersalin. Sedari tadi Ayahnya mondar mandir antara ruang bersalin dan ruang tunggu.

"Nggak nemenin Mama?" tanya Pian saat melihat Ayahnya memilih duduk di sebelahnya.

"Disuruh keluar sebentar sama susternya." Pian memandang Ayahnya yang nampak gelisah, sesekali melihat kearah ruang bersalin.

"Yah, aku boleh keluar?" tanya Pian hati-hati. Takut dikatai anak durhaka.

"Kemana?" Nah kan, belum-belum Ayahnya sudah melotot duluan. "Kalau pakaian udah Ayah bawain. Makanan juga. Pokoknya kita bertiga harus stand by disini sampai Mama kamu lahiran. Itu udah kewajiban turun-temurun." Tandas Ayahnya dengan tegas. Mendadak Pian tidak berani meminta izin. Ia kini hanya mengangguk-angguk.

How To Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang