Chapter 31: Sayang?

4.3K 719 110
                                    

Pian menatap kearah Ibunya yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Adiknya berada dalam inkubator karena lahir sebelum waktunya. Pian menatap interaksi antara Ayah dan Ibunya, mereka berdua terlihat begitu serasi dan saling mencintai.

"Kapan adiknya bisa dibawa pulang?" tanya Pian sambil menidurkan tubuhnya di sofa. Punggungnya terasa berdenyut karena kelelahan. Sejak semalam ia keluar masuk rumah sakit untuk mengurus banyak hal. Ia juga harus mengantar Duta ke rumah Neneknya lalu kembali ke rumah sakit untuk menemani Ayahnya.

"Kalau udah keluar dari inkubator, mungkin beberapa hari lagi. Nunggu Ibumu sehat juga," jelas Ayahnya.

Pian menangguk, lalu meletakkan tangannya untuk menutupi matanya yang terasa begitu berat.

"Tidur aja Pian, kamu kayaknya kelelahan..." Ibu Pian berujar lembut. Ia cukup tahu bahwa putra sulungnya itu sudah banyak membantu sejak siang tadi. Pian yang pemalas bisa begitu cekatan adalah sebuah keajaiban.

Pian hanya menggumam, terlihat benar-benar kelelahan. "Nama adeknya siapa nanti?" gumamnya disela rasa kantuk.

"Delisha, pembawa kebahagiaan." Ibu Pian tersenyum membayangkan anak perempuanya. Nama anaknya memang sudah ia persiapkan sejak lama. Desta untuk lelaki dan Delisha untuk perempuan.

"Kali ini namanya normal ya, bukan impian sama duta negara. Kupikir namanya bakal Tawa atau Juara," canda Pian yang membuat ibunya menahan diri untuk tidak tertawa. Bagian bawah tubuhnya masih sakit pasca melahirkan, perutnya juga terasa begitu kosong.

"Itumah ngawur," Ayah Pian melemparkan bantal dan langsung diterima Pian dengan suka cita.

"Nama anak itu penting, nggak boleh sembarangan. Harus yang bagus-bagus karena bawa takdir," Ibu Pian menjelaskan. Namun sepertinya Pian telah terlelap karena begitu kelelahan. Ibu Pian tersenyum, kemudian meminta suaminya untuk menyelimuti tubuh putranya.

***

Karam telah seringkali ditinggalkan. Dimulai dari kelahirannya, lalu Neneknya, dan kali ini Ayahnya. Kadangkala, menjelang ia memejam mata. Karam seringkali berpikir apa yang salah dari dirinya. Apakah ia terlalu merepotkan atau kehadirannya tidak direstui oleh semesta? Ia berasal dari kesalahan namun juga cinta.

Kata Ayah, semua bayi terlahir tanpa dosa. Namun Karam tahu bahwa anak diluar nikah adalah pengingat dosa orangtuanya. Mungkin itu yang membuat semua orang meninggalkannya.

Saat Karam membuka matanya, segala ingatan menyakitkan itu seakan berbondong-bondong menghampirinya. Karam langsung mendudukkan dirinya saat mencium aroma khas yang begitu ia kenal. Mengabaikan rasa sakit di kepalanya, Karam bergegas beranjak dari sofa dan langsung menuju dapur. Pemandangan yang begitu akrab namun berbeda. Ia melihat seorang lelaki tengah memasak namun itu bukan Ayahnya.

"Badai?" Panggil Karam. Lelaki itu menoleh dan memasang senyuman.

"Kebangun gegara gue ya?" tanyanya sembari sibuk memasak.

Karam menarik napas dalam, mencoba menghilangkan sesak di dadanya. Rasa kecewa itu begitu dirasa. Karam memaksakan senyumnya, ia mendekat kearah Badai. Karam mengintip, ia masih saja tertegun meski sudah menebak masakan apa yang Badai buat. "Ini jam berapa?" Alih-laih menjawab, Karam balik bertanya.

"Jam tiga pagi."

Karam menggaruk kepalanya, lalu merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. "Gue mau itu," tunjuk Karam pada nasi goreng yang ada di dalam penggorengan. Kemarin ia masih merasakan nasi goreng Ayahnya, kini ada lelaki lain yang memasak di dapurnya.

"Hebat ya. Bisa langsung bangun cuma gara-gara makanan," gurau Badai yang menuai decakan dari Karam.

"Kok nggak pulang?" Karam menata rambutnya yang kusut. Lalu menelisik penampilan Badai yang masih sama seperti semalam. Sepertinya Badai tidak pulang. Mengatahui fakta itu, Karam langsung menutup mulutnya. Demi apa? Badai menginap di rumahnya?

How To Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang