Cinta itu sederhana, harapan-harapan yang membuanya jadi rumit.
***
Bagaimana cara yang benar dalam mencintai seseorang?
Karam tak menyangka lelaki berkulit cukup pucat dengan wajah rupawan di hadapannya akan bertanya hal sedemikian rumit. Saat ini Karam bahkan masih bertanya alasan ia dilahirkan di bumi, dan Badai bertanya hal yang lebih rumit daripada itu.
"Berapa umur lo?" tanya Karam menelisik. Baginya, salah menulis angka nol dibelakang hitungan akutansi tak lebih rumit daripada pertanyaan Badai.
"Buat apa tanya?" tanya Badai dengan nada jutek andalannya. Kernyitan di dahinya kini terasa khas di mata Karam. Suatu hari, Karam ingin menjetik tengah dahi lelaki itu.
"Buat lo jawab."
Pian pernah berkata, jika ada orang yang bisa mengalahkan ucapan Karam, ia akan mentraktirnya selama sebulan. Karena Karam terlampau lihai bermain lidah. Pian kadang segila itu memang.
"21."
"Pernah aksel?"
Badai mengangguk.
"Pinter dong, tapi kok skripsinya nggak kelar-kelar?" ucap Karam menggoda.
"Sengaja nunda skripsi."
Karam terdiam sebentar, lalu menahan tawanya. Tapi perutnya terlampau geli hingga perempuan itu membungkuk hanya untuk meredam suara tawanya. Badai menatap Karam dengan kesal. Manik matanya melotot dan hidungnya yang tak mancung-mancung amat kembang kempis.
"Lo—lo sengaja nunda skripsi karena takut nggak ada pasangan saat wisuda kan?" tebak Karam dengan asumsinya.
Badai mendelik lagi. Sebenarnya, perempuan ini dukun atau apa sih? Dari tadi tebakannya benar semua.
"Gue nggak kayak gitu!" seru Badai dengan desisan seperti ular berbisa.
Karam mengangguk-angguk dan menepuk-nepuk bibirnya. "Maaf," ujarnya ringan. Karam menatap Badai cukup lama, menelisik lelaki itu dengan serius. "Tentang cara mencintai, gue juga nggak terlalu tahu. Tapi gue pikir rasa nyaman adalah hal utama dalam sebuah hubungan."
Badai menggali ingatannya yang lumayan usang. Tentang Niken, mantan kekasihnya. Badai mencintai Niken, itu yang sering ia deklarasikan pada dirinya sendiri. Badai tak keberatan berlama-lama dengan Niken. Ia suka melihat perempuan itu tersenyum. Niken yang lembut selalu nampak meneduhkan. Apakah Badai merasa nyaman? Jawabannya iya, Badai tidak pernah terganggu dengan kehadiran perempuan itu. Dan ia juga seringkali merindukan belasan pesan yang muncul di ponselnya.
Tapi, perempuan itu merasa Badai tidak mencintainya.
"Lo belum puas sama jawaban gue ya?"
Badai kembali dari lamunanya saat suara Karam melesak melalui gendang telinganya.
"Belum puas," jawab Badai.
Karam meletakkan tangannya di dagu. "Ah, lo jurusan ekonomi kan?" tanya Karam tiba-tiba.
Badai mengangkat salah satu alisnya, memicing curiga. Ternyata perempuan itu mengenalnya?
Karam buru-buru melambai pada Badai. "Enggak-enggak. Gue nggak kenal sama lo. Cuma salah satu dosen pernah bilang ada mahasiswa bernama Badai. Gue pikir itu lo," terang Karam.
Badai mengangguk. Kecurigaannya hilang. Ia memang cukup terkenal di kalangan dosen karena prestasinya selama ini. "Kenapa?" tanya Badai.
Karam menahan senyumnya. "Pinjemin gue buku-buku ekonomi tingkat lanjut dan bakal menjelaskan apa itu cinta." Karam selalu kesulitan untuk mendapatkan buku pelajaran. Buku di perpustakaan tersedia secara terbatas dan bahkan tidak lengkap. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk duduk di tempat penuh buku itu mengingat ia harus ke café kampus untuk bekerja setiap ada waktu luang. Ia selesai bekerja pukul tujuh malam dan perpustakaan telah tutup di waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Love Someone
Dla nastolatkówHow to love someone? Ini adalah sebuah pesan. Untuk hati-hati yang terluka di penghujung malam. Untuk rindu-rindu yang tak tersampaikan. Dan untuk tangan-tangan yang tak mendapat balasan. Segala hal tentang cinta memang tidak selalu bahagia, namun...