Tips membaca How to Love Someone:
1. Baca sambil tiduran paling enak.
2. Bacanya pelan-pelan aja biar nggak cepet abis.
3. Vote dulu gengs sebelum baca.
4. Siapin hati, jangan sampai potek.
5. Kasih komentar yang banyak biar semangat akunya!
Happy reading!
***
Tanpa rasa takut, Karam melangkah melewati Wulan dan berdiri di depan Nissa. Ia bisa melihat wajah Nissa yang nampak gugup. "Nis, bener Badai tunangan lo?" Karam berujar dengan cukup lantang. Jika Nissa ingin mengajaknya berperang, Karam harus mengetahui posisi Nissa ada di pihak lawan atau kawan. Hati Karam sakit meliha satu-satunya teman seakan mempermainkannya. Namun ia butuh kejelasan. "Badai Athafariz Hizam, beneran tunangan lo?" ulang Karam. Nissa nampak marah, Karam tidak tahu alasannya apa. Ini adalah ekspresi kemarahan pertama yang ia dapatkan dari Nissa.
"Iya, dia tunangan gue. Nyokap gue sama Badai udah setuju. Dan bukannya lo tau kalau dia tunangan gue?!" Nissa berujar dengan kegentaran yang coba ia perkuat.
Seketika itu hati Karam serasa diremas. Ternyata sebuah kata teman hanya sedangkal ini maknanya. Nissa membencinya hanya karena tahu bahwa ia dan Badai keluar bersama kemarin. Dan kalimat terakhir Nissa seolah menegaskan jika dirinya yang bersalah dalam masalah ini.
Karam jadi tahu bahwa patah hati tidak melulu soal cinta. Tentang pertemananpun, bisa membuat hatinya retak seperti ini.
Karam memandang wajah Nissa yang kian lama kian memucat. Mendapatkan tatapan sebegitu datar dari Karam membuatnya gemetaran. Hal seperti ini tidak terjadi sekali dua kali bagi Karam. Sejak SMP dia sudah terbiasa mendapatkan fitnah murahan seperti merebut pacar orang, yang bahkan Karam sendiri tidak kenal. Tapi, kasus kali ini berbeda.
Dari sekian banyak orang, mengapa harus Nissa yang membencinya. Nissa adalah teman perempuan pertama Karam. Orang yang menyapa dengan senyuman ketika semua orang menatapnya aneh karena pakaiannya yang kumal. Orang yang mengajaknya makan siang meskipun rumor tentang Karam yang suka melanggar peraturan telah tersebar. Nissa adalah perempuan pertama di kampus ini yang memandangnya sebagai Karam teman sekelas, bukan Karam gelandangan cantik dari Fakultas Ekonomi.
"Lo beneran suka sama Badai?" Tak ada ketegangan di wajah Karam, berbanding terbalik dengan wajah semua orang yang nampak tegang, bahkan yang sekadar memperhatikan.
Nissa mengangguk, agak ragu. Namun Karam sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. "Nis, beneran lo giniin gue?" Karam bersuara hampir seperti tiupan angin. Jika Nissa tidak melihat bibir Karam, mungkin ia bahkan tidak mengetahui apa yang diucapkan perempuan itu. Dan seakan ada sengatan, hati Nisaa-pun turut merasakan sakit. Tapi rasa sakit itu terlindas oleh keadaan.
Nissa menyukai Badai sejak dulu. Sejak dua tahun yang lalu ketika Ayah dan Ibunya menghadiri acara pembukaan cabang perusahaan keluarga Badai. Lelaki itu begitu tampan dengan setelan jas hitam, rahang tegas, dan tatapan mata tajam yang mampu menembus hati setiap orang yang melihatnya. Namun Nissa harus patah hati bahkan sebelum menarik helaan napas kedua. Di samping Badai berdiri perempuan cantik yang begitu anggun. Untuk kali pertama bahkan Nissa tidak percaya diri ketika harus menyaingi seseorang. Perempuan itu Niken, kekasih Badai.
Dan kini Nissa memiliki kesempatan untuk bersanding dengan Badai. Mereka berdua sudah putus. Nissa dan Badai telah dijodohkan. Mereka berdua sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Nissa cantik dan Badai yang tampan. Tak ada kata tidak cocok diantara mereka. Namun alih-alih memandang dirinya, Badai malah menatap kearah Karam. Ini tidak adil. Karam tidak berhak mendapatkan perhatian seperti itu dari Badai. Karam hanyalah perempuan miskin yang bahkan mendapatkan julukan memalukan di kampus. Karam adalah orang yang seharusnya berada jauh di bawah kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Love Someone
Teen FictionHow to love someone? Ini adalah sebuah pesan. Untuk hati-hati yang terluka di penghujung malam. Untuk rindu-rindu yang tak tersampaikan. Dan untuk tangan-tangan yang tak mendapat balasan. Segala hal tentang cinta memang tidak selalu bahagia, namun...