Chapter 18: Mager

3.9K 936 172
                                    


Tanpa mendung tanpa awan.

Kamu berdiri di sini.

Tanpa ucapan hanya kehadiran.

***

Pian beberapa kali menatap kearah samping café. Waktu berlalu cukup lama namun perempuan itu belum juga kembali. Pian nampak gusar. Entah sudah berapa kali ia melihat kearah yang sama, tempat Karam menghilang meninggalkannya. Pian meragu, haruskah ia lebih lama menunggu atau mencari. Pandangannya lalu jatuh pada teh hangat yang hampir mencapai dasar.

Detik berikutnya Pian berdiri, berjalan dengan pandangan mata menyapu keadaan. Dan saat ia berada di belokan, rasanya jantung pian seakan di tikam. Untuk kedua kalinya Pian merasa gagal. Di depan matanya, Karam menangis dalam pelukan lelaki lain. Badai. Napas Pian seketika memberat, seolah oksigen tak lagi memiliki kadar yang sama. Hatinya sesak bukan main. Sebenarnya apa saja yang ia lakukan selama ini? Keberadaannya, masihkah belum cukup?

Pian mendongakkan kepalanya, memilih menatapi daun-daun jatuh yang meranggas, hampir mirip seperti hatinya yang sama patah. Sore ini Karam menangis lagi, dan lagi-lagi bukan dirinya yang menjadi penenang. Rasany Pian ingin berlari menerjang Badai, namun urung saat mengingat kejadian semalam. Karam akan marah, lalu membencinya.

Dibenci oleh Karam adalah hal terakhir yang ia inginkan. Pian menarik napas dalam, bersamaan dnegan nyeri yang ada di hatinya. Ia ingin melangkah mendekat namun takut jika dirinya tak bisa menahan rasa sakit di hatinya. Namun Pian juga enggan untuk melangkah mundur. Dengan langkah pelan, hampir tanpa suara. Pian berjalan mendekat. Menapaki jalan dengan rasa sakit yang menguat dalam tiap langkahnya.

Astaga, sejak kapan ia sejatuh ini pada Karam. Pian suka Karam, namun ia baru menyadari bahwa perasaannya begitu dalam pada detik ketika Karam berada dalam pelukan lelaki lain. Ia baru benar-benar menyadari perasaannya ketika Karam hampir diambil darinya.

Pian berdiri menjulang dihadapan Badai yang menatapnya sengit. Kepala Karam tertutup oleh jaket, isakannya begitu keras. Karam tak menyadari keberadaan Pian. Atau mungkin selama ini juga begitu. Karam tidak menyadari keberadaan Pian.

Pian kembali menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berantakan. Ia lalu duduk dalam diam di samping Karam yang menangis dalam pelukan Badai. Ia hanya diam, mendengar dengan luka kala perempuan itu terisak dengan penuh kesakitan. Pian bertanya-tanya apa yang menyebabkan Karam menangis, ia menebak ada hubungannya dengan semalam. Tapi bibirnya terkunci. Mungkin belum saatnya, pikir Pian mencoba meredam rasa sakit di hatinya.

Karam mencoba mendudukkan dirinya. Saat merasakan ada orang lain di belakangnya, Karam menoleh. Manik mata bulatnya melebar saat melihat Pian yang menatapnya dalam.

"Pian..." panggil Karam kecil.

Lelaki itu mencoba tersenyum, lalu merentangkan tangannya. "Kayaknya ada yang butuh pelukan?"

Karam kembali menangis, matanya merah, napasnya penuh isak. Ia menoleh ke Badai sebentar, lalu kembali menatap Pian yang tak ia sadari berada di sampingnya. Karam melingkupi dada Pian dalam pelukannya. Ia merasakan punggungnya disentuh dengan lembut. Ada aroma rokok samar di sana, namun pelukan Pian tetap menangkan. Ia menangis dalam pelukan Pian. Tanpa bercerita, tanpa mengadu. Pian juga seolah memahami dengan memendam pertanyannya seorang diri.

Badai berdiri, ia memberikan kotak tisu kepada Pian lalu memilih pergi dalam diam. Di belakangnya, Pian mengulas senyum kecil. Ia seolah baru saja memenangkan pertarungan. Karam memeluk Badai bukan karena ingin, melainkan karena kebetulan lelaki itu ada di sana. Karam memilihnya, Karam membutuhkan dirinya. Pemikiran itu membuat luka Pian sembuh bahkan tak ia ingat sama sekali bekasnya. Ditemani isak tangis Karam yang kian melemah, Pian memberikan kecupan samar di kepala perempuan yang telah ia pastikan ada di hatinya.

How To Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang