45: Hotel

2.1K 353 63
                                    


Cuplikan sebelumnya...

"Mau dong dipeluk lagi, Dek Karam kedinginan..." suara Karam memelan saat Badai merangkulnya.

"Ini udah gue peluk," sahut Badai.

Karam terdiam, setelah ini ia mungkin harus menyaring segala ucapan asal yang akan keluar dari mulutnya. Lelaki ini adalah Badai, lelaki yang datang di cuaca redup hingga cerah. Lelaki yang bisa melakukan segalanya, bahkan mungkin, membuat Karam jatuh cinta.

***

Chapter 45: Hotel


Karam melongokkan kepalanya saat Badai membuka pintu kamar hotel yang dipesannya siang tadi. Melihat Karam yang sepertinya ragu-ragu untuk masuk ke dalam kamar hotel membuat sebagian diri Badai malah merasa senang. Ia kemudian bersandari di samping pintu dan bersedekap.

"Lo takut masuk ke dalam? Kenapa? Apa yang lo pikirin?" pancing Badai yang membuat Karam terkesiap.

Ini masih jam tujuh malam. Badai sebenarnya tidak berencana untuk kembali ke hotel dan lebih memilih untuk jalan-jalan bersama Karam di sekitar pantai Kuta, atau dimanapun asalkan ada Karam yang bisa digodanya. Namun saat ini Karam hanya memakai jeans dan kaos tipis. Angin pantai sangat dingin dan hotel Badai lebih dekat dibandingkan dengan tempat tinggal Karam.

"Gue tuh cewek pendiem, baik-baik, dan polos Bai. Masuk kamar hotel apalagi sama cowok itu..." Karam tidak melajutkan ucapannya. Namun wajahnya menujukkan keberatan yang dilebih-lebihkan dan dimanis-maniskan.

"Yaudah, lo tunggu sini aja. Gue ambilin baju sekalian gue mau mandi bentar. Itu lantai tadi abis dipel kok sama OB-nya. Santai-santai aja dulu, anggap aja lorong sendiri," ujar Badai cuek sambil mengangkat bahunya sebelum berbalik.

"Ih, lo makan apa sih selama gue tinggal. Makin ngeselin tau gak!" Karam menghentakkan kakinya kesal, setengah merengek. Sedangkan Badai tidak ingin repot-repot untuk sekadar membalikkan badan.

Badai menunduk, melepaskan sepatunya. "Lo mau minum apa deh? Gue ambilin di dalem, ada snack juga. Ma—" Belum selesai Badai berujar, di samping sepatunya sudah tergeletak sepatu kets putih.

"Permisi!" ujar Karam dengan suara ceria setengah berteriak. Ia kini sudah nyelonong masuk bahkan mendahului Badai yang menatapnya di depan pintu.

"Sebelah TV ada kulkas," ujar Badai yang melihat Karam celingukan. Perempuan itu berbalik, tersenyum dengan jahil dan memberikan flying kiss pada lelaki yang menahan diri untuk tidak tersenyum.

Badai menghela napas dengan senyum diam-diam yang ia sematkan. Ia kemudian menunduk, memasukan sepatunya dan sepatu Karam ke dalam rak. Badai menoleh sejenak dan tidak menemukan jejak Karam di sekitar padangannya. Pandangannya lalu jatuh pada dua pasang sepatu yang berjajar rapi di hadapannya. Dengan senyum kecil yang muncul tanpa ia sadari, Badai berharap sepatunya bisa selalu bersejajar dengan Karam di masa depan.

***

Saat Badai memasuki melewati lorong pendek menuju arah ruang tengah dan ranjang, ia melihat Karam sudah duduk bersandar di bawah ranjang dengan cemilan di sekitarnya.

"Hem, cewek pendiem dan polos lagi santai di kamar hotel cowok nih," sindir Badai penuh godaan sambil berjalan menuju lemari kamar hotel yang berada di bawah televisi. Kamar hotel itu cukup luas untuk hitungan satu ranjang. Kamar mandi berada di samping lorong setelah pintu masuk dan ranjang king size berada lurus di depan lorong. Di seberang ranjang terdapat televisi gantung, kulkas mini, meja nakas tempat minuman hangat dan telepon. Di bagian pojok sisi lain televisi terdapat pintu kaca menuju teras jemuran.

"Iya nih, gue polos banget sampe mau dipaksa masuk kamar sama Badai," dengan wajah sok lugu Karam mencoba berperan sebagai korban.

Badai meletakkan piyama mandi di pangkuan Karam. "Mandi dulu sana," perintah Badai sambil ikut duduk di sebelah Karam dan mengecek ponselnya.

"Lo aja dulu deh," Karam berdiri, meletakkan piyama mandi di ranjang dan membersihkan beberapa bungkus makanan. "Gue mau beli sesuatu dulu di luar, kuncinya nanti gimana?" tanya Karam yang membuat Badai terheran.

"Beli apa? Sekalian aja nanti sama keluar." Badai melihat Karam yang terlihat sedikit canggung.

"Ada deh," jawabnya berharap Badai tak banyak tanya.

Merasa penasaran Badai memilih untuk tidak langsung mengizinkan. "Kuncinya cuma satu, dan itu nempel di tempat listrik." Badai beralasan.

"Hah, kok gitu. Kuncinya gak ada lagi? Gak dapet dua gitu?"

"Gue kan pesennya single bed."

"Terus gimana dong?"

"Mau beli apa sih?" Badai ikut berdiri. Ia mengambil piyama Karam yang kembali memberikannya pada Karam. "Mandi, biar gue yang beliin."

"Nggak, nggak mau!" Karam menggelengkan kepala sambil meletakkan piyama di dada Badai. "Mandi aja dulu!"

Melihat Karam yang semakin bersikeras, Badai semakin penasaran. "Beli apaan sih? Kan bisa nanti, abis mandi, sekalian makan di luar kita."

"Ini nggak bisa. Harus sebelum mandi."

Badai mengerutkan keningnya, lalu memutar otaknya. "Pembalut?" tanyanya tanpa malu.

"Bukan!" seru Karam. "Tapi setipe," jawabnya lagi dengan suara lebih pelan.

Badai mengalihkan pandangannya, menghela napas terang-terangan dan meletakkan handuk itu di ranjang. Iya kemudian mengambil remote televisi dan menyalakannya. "Nonton TV sana," ujarnya sebelum mengambil langkah menjauh.

"Mau kemana?" tanya Karam penasaran melihat Badai yang membuka pintu kamar.

"Beli pakaian dalam," ujar Badai tanpa berbalik yang membuat wajah Karam memerah sempurna.

"Bai! Haram hukumnya lo liat daleman cewek!" seru Karam namun terlambat karena Badai lebih dulu menghilang.

Karam langsung menjatuhkan badannya di ranjang. Mengambil bantal untuk menutup wajahnya dan berteriak saking malunya. Sebenarnya apa sih yang ada dalam pikiran Badai. Lelaki normal pasti malukan jika membeli dalaman perempuan. Ini Badai malah berangkat tanpa diminta. Sepertinya Badai memang bukan manusia normal.

"Bentar, coba gue balik..." Karam melemparkan bantalnya asal dan mulai berpikir. "Gimana kalau misalnya Badai minta tolong gue beliin celana dalam cowok?" ujarnya pada diri sendiri. "Gue jalan keluar, cari toko dan tanya Pak, daleman cowok ada? Terus bapaknya lihat gue, ngamatin sambil mikir... Dia pasti anak nakal yang abis nehi-nehi sama cowoknya." Karam berbicara sendiri, menyusun scenario jika ia kini berada di posisi Badai.

"Tapi Bapaknya gak mungkin komentar secara verbal, dia pasti tetep ambilin celana dalam dan gue bayar. Udah, gitu doang..." Karam kemudian membenarkan letak posisi tidurnya. Lalu terkikik, "iya gitu doang... Lagian kita udah dewasa yakan..."

Karam tersentak saat pintu kamar terbuka, ia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dan melihat Badai membawa satu tas kantong kertas. Karam setengah bengong melihat Badai berjalan ke arahnya. Ia sibuk meyakinkan diri untuk tidak perlu merasa malu dengan bantuan scenario terbalik beberapa waktu yang lalu.

"Mandi," perintah Badai sambil menyodorkan kantong belanjaan itu.

"Cepet banget." Karam menerima kantong itu dan mengintip isinya, tidak berani membukanya secara terang-terangan.

"Belinya kan di lobi."

"Oh? Ada?"

"Iya, sana cepet mandi, gue mau beres-beres dulu."

Karam mengangguk, namun ia tak segera berdiri. Karam bingung sendiri. Ia ingin mengucapkan terima kasih tapi entah mengapa ia merasa akan malu jika mengatakan terima kasih. Namun juga rasanya ia menjadi manusia tidak tahu terima kasih jika tidak mengucapkan terima kasih.

"Sama-sama," ucap Badai pada Karam yang nampak sedang berperang dengan pikirannya sendiri.

Karam membuka mulutnya, takjub. Dan Badai mengacak rambut Karam dan segera mendorong perempuan satu itu untuk memasuki kamar mandi. Dan setelahnya, mereka sibuk menyembunyikan wajahnya yang memerah hingga telinga.

How To Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang