Chapter 29: Akhir Pekan (B)

4K 868 319
                                    

Baca di tempat paling nyaman. Klik bintang. Berikan komentar. Aslinya ya, aku tuh lebih suka orang komentar meskipun kritik sepedas apapun, aku terima. Asalkan nggak ngegas dan masih seputar cerita.

***

Kita berusaha, semesta merestui, dan takdir menghendaki.

***

Pian pulang ke rumah sambil mengendap-endap. Jam telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan ia yakin pintu rumahnya telah dikunci. Sejak sebulan yang lalu Ayahnya menerapkan jam malam. Alasannya karena ada geng motor membawa senjata tajam yang akhir-akhir sering berkeliaran.

Pian selalu dilarang keluar malam bagaikan anak perawan, namun Pian selalu bisa kabur dan kadang sengaja tidak pulang dari pagi hingga petang. Sebenarnya Pian bisa saja menuruti perintah Ayahnya, namun jika seperti itu tak ada yang menjemput Karam malam harinya. Karam selalu pulang jam sepuluh malam. Tentu akan berbahaya bagi Karam jika pulang sendirian. Seperti saat ini, Pian lebih memilih menghabiskan waktu di café langganannya dan bermain dengan teman-temannya daripada berdiam diri di rumah.

Pian masuk bersamaan dengan lampu rumah yang menyala, persis seperti adegan horror di film-film. Tepat disamping tembok sekat ruang tengah, Ibunya berkacak pinggang dengan perutnya yang buncit.

"Masih inget rumah?" ujarnya sarkas.

Pian cengengesan, mengangkat makanan yang seharusnya milik Karam tapi tidak jadi. "Aku bawain makanan buat Mama. Ini carinya muter-muter loh..." Muter-muterin Karam. Lanjut Pian dalam hati.

"Kamu tuh ya, sehari aja nggak bisa bikin Mama nggak cemas. Sekarang tuh lagi banyak begal. Kenapa kamu nggak diam di rumah aja sih!"

Pian menatap Ibunya dengan menyesal. Mendekati wanita yang masih nampak muda itu guna membantunya duduk di kursi sofa. "Maaf ya Ma..." ujar Pian sembari membuka makanan yang masih setengah hangat itu.

"Kamu keluar sama pacar kamu itu ya?" tuduh Ibunya dengan nada tidak suka.

"Enggak Ma, aku di café sama anak-anak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Enggak Ma, aku di café sama anak-anak. Coba tanya Udin samping rumah, aku sama dia tadi, dan Udin masih ada di sana." Pian tak berbohong kali ini. Ia memang nongkrong di café dengan Udin dan teman-teman yang lain.

"Kalau kamu kenapa-napa bagaimana?! Kalau orangtua ngomong itu didengerin sama diturutin!"

Pian mengangguk-angguk, tak ingin menjawab karena jika ia menjawab maka akan semakin panjang urusannya. "Iya Ma maaf..." ujar Pian menurut.

"Iya-iya doang tapi besok tetap aja kayak gitu!"

Ibu Pian mengelus-elus perutnya. Berharap kemarahannya tidak membuat calon anak bungsunya bereaksi.

"Gini deh Ma, aku bakal ada di rumah tapi tiap jam sepuluh izinin keluar ya. Bentaran doang..." mohon Pian. "Lagian zona berbahaya di Jakarta itu jam 1 malam keatas Ma. Kalau jam sepuluh masih rame... Aku juga bukan anak perawan kan..." Rayu Pian pada Ibunya. Kunci perizinan di rumah adalah ibunya. Jika Ibunya sudah mengizinkan maka Ayahnya akan nurut-nurut saja. Ibunya seakan menjadi pusat kehidupan di rumah mereka. Walaupun galak, Pian tahu bahwa Ibunya penuh kasih sayang.

How To Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang