Perihal mencintai selalu menjadi misteri.
Terbalas atau terlupa, bersuara atau dalam keheningan.
Setia dalam satu nama, mencintai diri sendiri, atau mendua.
Disampaikan atau dipendam, singgah maupun berhenti.
Cinta bisa sederhana, juga serumit hati yang tak terbaca.
***
Sebenarnya untuk apa ia hidup di dunia ini?
Pertanyaan itu masih sering keluar dari dirinya sendiri, untuk dirinya sendiri, tetapi tidak dapat dijawab oleh dirinya sendiri. Dan karena hal itu, Karam belum merasa menjadi makhluk bumi seutuhnya.
Setidaknya, Karam sudah memiliki tujuan hidup yang ia tentukan sendiri. Karam tidak ingin mati dengan cara bunuh diri, juga tak ingin mati konyol lalu ditertawakan makhluk bumi. Karam ingin mati dengan elegan dan nampak bahagia. Maka dari itu hal pertama yang harus Karam lakukan adalah keluar dari gang sempit yang menjadi tempat tinggalnya. Untuk bisa keluar dari sana, Karam harus memiliki banyak uang.
Menjual diri mungkin terdengar sebagai jalan keluar yang cepat, namun Karam tahu bukan ia keluar, bisa-bisa Karam akan berakhir di gang itu selamanya. Bekerja banting tulang tanpa latar pendidikan terdengar masuk akal, namun Karam yakin baru bisa keluar dan membeli rumah pada usia lima puluh tahunan. Maka dari itu, Karam putuskan untuk menjadi orang pintar.
Keputusan itu Karam ambil ketika ia berusia sepuluh tahun. Ketika ia masih dirawat oleh neneknya yang sehat. Ia berjanji akan membeli rumah di tempat yang lebih baik dan membawa neneknya pergi. Mungkin jika sang Ayah berubah menjadi orang yang baik, Karam akan membawanya juga, tapi ia akan mempertimbangkan opsi itu matang-matang.
Sejak SMP Ayah tak mengeluarkan sepeser uang pun untuk menempuh pendidikan Karam. Karam tahu diri bahwa ia bukan anak yang diingini. Bukan anak yang akan dilimpahi kasih dan segala bentuk puji.
Hidup tidak secerah mentari. Meskipun di siang hari masih dan akan selalu ada kegelapan yang menghampiri. Hal seperti ini, akan bisa dimengerti oleh orang yang sama-sama pernah mengalami luka serupa. Sisanya hanya sakadar simpati.
"Karam Anantavirya?" Suara dosen lelaki berumur kepala lima membuat Karam tersentak dan lantas mengangkat tangannya. Ini adalah minggu kedua ia menjadi mahasiswa. Dalam hati, Karam berdoa agar dosen tersebut melewatkannya begitu saja dan tidak berkomentar apapun.
Pak Arya menatap gadis yang duduk di barisan belakang itu dengan tatapan menelisik. "Nama yang bagus," pujinya, namun Karam tidak berpikir hal yang sama. Karam berarti tenggelam, dan ditambah dengan penampilannya yang sering disebut gelandangan cantik fakultas ekonomi membuatnya seperti perempuan yang tidak memiliki masa depan.
"Terima kasih Pak," ujar Karam basa-basi. Setidaknya, dosen satu ini tidak menegur pakaiannya, seperti yang sudah-sudah.
Pak Arya hendak menyebutkan nama berikutnya, namun urung dan kembali menatap Karam. "Pakaianmu, tidak ada yang lebih rapi?" Manik mata dewasa itu menelisik
Oh, ternyata belum, ia tetap ditegur.
Karam tersenyum dengan sedikit dipaksakan, tak menjawab. Namun semua orang tahu apa arti dari senyuman Karam.
Pak Arya mengerutkan keningnya, "Kamu kenal Badai?" tanya Pak Arya tiba-tiba. Beberapa teman Karam berbisik-bisik.
"Kenal Pak, angin kencang yang menyertai cuaca buruk kan, Pak?" jawab Karam dengan lugas. Seisi kelas langsung tertawa, begitupun dengan Pak Arya. Apa yang salah dengan jawabannya?
"Bukan badai yang itu, tapi Badai yang manusia. Kalau nganggur, coba cari senior yang namanya Badai, dia kelihatan cocok sama kamu. Lihat nama kamu bikin saya ingat sama Badai," ucap Pak Arya yang diikuti suitan ramai dari teman-teman sekelasnya. Itu adalah kali pertama Karam mendengar nama Badai.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Love Someone
Fiksi RemajaHow to love someone? Ini adalah sebuah pesan. Untuk hati-hati yang terluka di penghujung malam. Untuk rindu-rindu yang tak tersampaikan. Dan untuk tangan-tangan yang tak mendapat balasan. Segala hal tentang cinta memang tidak selalu bahagia, namun...