"Jika ada orang yang bertanya, siapa yang mencintaimu dengan bodoh. Jangan ragu-ragu, sebutlah namaku."
Laut hitam, malam yang dingin. Di jembatan kayu, mereka berdua terdiam. Keduanya seakan menikmati sunyi yang diciptakan sendiri, sebelum Karam bersin dengan tidak cantik. Bersin Karam begitu keras hingga mau tak mau Badai tertawa melihatnya.
"Diem," ujar Karam dengan kesal sambil menggosok hidungnya yang memerah.
Badai masih memasang senyum, pandangannya jatuh pada Karam dengan begitu fokus. Karam tidak bisa untuk tidak merasa berdebar. Setelah pengakuan terselubung yang dilakukan Badai, ia tidak bisa merasa biasa saja. Badai begitu curang dalam menciptakan keadaan. Badai tidak lagi bersembunyi namun kali ini Karam yang harus melakukannya.
Badai lalu melepaskan hoodie hitam yang ia pakai dan melemparkannya pada Karam. Kebiasaan satu ini seakan melekat meskipun mungkin saja hubungan keduanya sudah berubah haluan. Karam memandang Badai dnegan binaran mata menggoda. Tersenyum dengan lucu seolah menertawai perhatian yang diberikan lelaki dingin itu.
"Kok baik sih, katanya nggak cinta..." ujar Karam dengan senyum khas di belah bibirnya.
Melihat senyum itu, Badai terseyum kecil. Hatinya begitu hangat hanya dengan mengetahui bahwa hubungan mereka akan baik-baik saja. "Gue emang baik dari dulu, lo nya aja yang lihat sisi buruk gue mulu," jelas Badai yang membuat Karam mendelik, protes.
Melihat Karam yang tak kunjung memakai hoodienya, Badai dengan tidak sabar mengambil hoodie itu untuk ia masukkan ke kepala Karam. "Gue bisa sendiri!" seru Karam kesal karena Badai tak ada lembut-lembutnya.
"Lama," ujar Badai tanpa rasa bersalah.
Karam menepuk-nepuk perutnya yang agak mengembung karena hoodie yang memang terlalu besar. Karam jadi tersadar bahwa Badai memang sebesar itu. "Baju baru gue jadi nggak kelihatan," ujar Karam sedikit cemberut. Tiba-tiba ia merasa kecewa karena sesungguhnya Karam memakai pakaian barunya untuk bertemu dengan Pian juga mengunjungi Ibunya. Karam sudah menunggu selama berjam-jam dan kekasihnya itu belum datang juga. Karam memainkan hoodie Badai dengan cemberut, padahal ia benar-benar ingin menunjukkannya pada Pian.
"Lo bagus pakai baju itu." Karam mendongakkan kepala untuk melihat Badai yang langsung membuang muka.
"Hoodie ini?" tanya Karam sambil mencari wajah Badai yang terus mengelak.
Badai menyandarkan punggungnya di sandaran kayu jembatan. Banyak orang berlalu lalang, namun hanya satu manusia aneh yang bisa terlihat begitu berbeda. Karam sedang berdiri di depannya sambil memasang wajah menelisik.
"Bukan, tapi yang dalamnya lagi," ujar Badai mengabaikan rasa panas samar di pipinya. Rasanya Badai ingin menggali lubangnya sendiri.
Karam menarik senyum di bibirnya dengan begitu lebar. Terkikik lucu sebelum menempatkan dirinya di samping Badai sambil memainkan lengan hoodie yang menghilangkan kedua tangannya. "Nyadar ya..." ujar Karam dengan pelan.
"Udah sadar jalau cewek?" ledek Badai yang mendapatkan dorongan di bahunya.
"Ngeselin," gumam Karam menyembunyikan rasa senangnya. "Yang bagus guenya apa bajunya?" tanya Karam lagi.
Badai melihat bagaimana perempuan itu nampak begitu manis dengan balutan hoodie besar miliknya. Karam yang seperti ini adalah yang terbaik bagi Badai. Karam yang memakai pakaiannya adalah yang terbaik. "Hn..." gumam Badai, enggan menjawab.
Mendengar dengungan Badai, Karam mengibaskan sebelah rambutnya dan berujar percaya diri. "Tapi gue emang dasarnya cantik pakai apa aja sih ya. Meskipun dinamain gembel, tetep aja gembel cantik."
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Love Someone
Teen FictionHow to love someone? Ini adalah sebuah pesan. Untuk hati-hati yang terluka di penghujung malam. Untuk rindu-rindu yang tak tersampaikan. Dan untuk tangan-tangan yang tak mendapat balasan. Segala hal tentang cinta memang tidak selalu bahagia, namun...