Saat Badai menatap Karam di keluar dengan jaket yang sama dengan semalam, Badai tahu malam yang dimiliki perempuan itu tidak baik-baik saja. Matanya merah, sedikit bengkak dan terlihat jelas semalam ia menangis cukup banyak, atau mungkin sangat banyak. Badai ingin mengucapkan kata apapun yang sekiranya membuat Karam lebih baik, namun tak menemukan kalimat apapun yang cocok dan berakhir dengan keterdiamannya.
Melihat itu, Karam tersenyum kecil, menepuk dadanya lalu berujar. "Sekarang agak berantakan, tapi pasti bakal sembuh."
Badai mengamati bagaimana sisa-sisa kesedihan itu nampak jelas di wajah Karam. Dan kali ini Badai benar-benar tidak tahu bagaimana cara yang benar untuk menghiburnya. "Karam, gimana caranya?"
"Cara buat apa?" tanya Karam bersamaan dengan langkah terakhirnya keluar dari pintu gerbang sederhana rumahnya. Ngomong-ngomong, Badai benar-benar datang jam lima pagi atau mungkin lebih cepat.
"Buat bikin lo senyum hari ini."
Badai memang paling mahir berkata manis dengan wajah datar andalannya. Membuat Karam seringkali serasa tersambar petir menghadapi sikap manis tak tau waktu dan tempat.
Karam lalu tersenyum, sedikit malu namun jelas itu bukan jenis senyum yang dipaksakan. "Nih, udah."
"Lumayan, nanti gue beliin whiscas," ujar Badai dengan jempol yang mengacung.
"Ngeselin bangeet!"
***
Ada banyak hal yang tidak bisa diubah. Ada banyak pilihan yang tertutup untuk sebagian orang. Lalu patah-patah yang tak bisa disembuhkan selain oleh waktu.
Jika ditanya apakah ia mencintai Karam. Jawabannya adalah sangat. Ia sangat mencintai perempuan dengan senyum secantik kuncup bunga yang ditunggu-tunggu mekarnya itu. Namun, perasaan manusia bagaikan ombak pada hari-hari yang cerah. Ada kalanya cinta itu kalah oleh satu hal yang lain. Lalu berakhir patah seperti ranting-ranting yang jatuh di bawah pohon paling besar.
Pian tahu patah hati kali ini benar-benar tak terelakkan. Segala yang terjadi bahkan cinta yang ia tumpuk sebesar apapun akan berakhir untuk direlakan. Ini adalah pilihannya, namun ia masih ingin membenci takdir yang terjalin dengan cukup kejam.
"Pian, ayo sarapan!" suara Ibunya memanggil dari luar kamar membuat Pian menghela napas. Ia tekan ujung puntung rokok pada asbak yang sudah terisi penuh. Jendela kamarnya yang mengarah pada teras samping menunjukkan bahwa matahari mulai naik.
"Nanti Ma," jawab Pian yang tidak yakin Ibunya akan mendengarnya. Sudah kebiasaan ibunya untuk mengetuk kamar, berteriak, lalu pergi begitu saja tanpa mendengarkan jawaban dari sang pemilik kamar. Kali ini saja, Pian benar-benar tidak ingin keluar kamar. Pian berdiri dari ranjang, berjalan kearah pintu dan mengunci pintu kamarnya dari dalam. Hari ini, Pian ingin menghabiskan waktu dengan mengenang segala cinta yang pernah mereka bagi bersama.
***
"Bai, kapan lo balik?" Karam bertanya di sela makan siang mereka. Terhitung sudah tiga hari berlalu saat kedatangan Badai yang pertama dan lelaki itu belum membahas apapun mengenai kepulangannya.
"Ke mana?" tanya Badai terlihat jelas seperti ingin menghindari topik kali ini.
Karam berdecak, "Jakarta! Kalau perlu gue ingetin, sekarang kita ada di pulau yang dikelilingi lautan. Kita ada di Bali!"
"Kapan lo balik?" Badai melemparkan pertanyaan yang sama dengan Karam.
Sejujurnya, Karam sendiri merasa bahwa ia cukup lama berada di sini. Biasanya, Karam tinggal tak sampai satu minggu. Lalu menghabiskan liburannya untuk bekerja guna mencari pundi-pundi uang.
Karam lalu melihat spageti yang menjadi menu makan siangnya kali ini. Ia lalu tersadar bahwa tiga hari ini ia seakan menjadi anak manja karena lama tidak bertemu ayahnya. Dan Badai adalah sang ayah yang memanjakan anaknya yang super cantik ini.
Saat pergi bersama Pian, lelaki itupun selalu melakukan hal yang sama, tidak membiarkan Karam membayar apapun. Sedangkan Badai, Karam bahkan dilarang membawa dompet, kalau ia ngotot membawa Badai langsung bertindak dengan menyitanya. Kalau kata Kak Bunga, itu semacam harga diri lelaki. Tapi mereka apa nggak takut bangkrut ya?
"Bai, pernah nggak sekali lo mikir gini, Waah, cewek super cantik yang namanya Karam ini ternyata matre ya, gitu." Karam bertanya karena penasaran, sekaligus untuk mengganti topik pembicaraan mereka.
Badai mengerutkan keningnya, merasa terganggu dengan pertanyaan itu. "Lo nggak super cantik, jadi gue gak pernah mikir gitu, sama sekali."
Ekspresi Karam nampak ingin protes, namun ia tahan-tahan. "Oke, abaikan aja kalimat kalau gue supeeer cantiik. Fokus ke poin kedua!"
Badai nampak berpikir dan Karam terlihat tegang. Karam lalu membuat gesture sok manis berharap Badai melupakan dosa-dosa dan aibnya.
Badai tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa kecil. "Gimana ya. Lo nggak pernah minta mobil, motor, atau barang-barang branded sih. Jadi gak ada alasan juga gue mikir gitu." Badai ingat dihubungan yang ia miliki sebelumnya. Memberikan hadiah barang-barang mewah adalah hal biasa. Pertama karena Niken sendiri tumbuh di keluarga yang lebih dari cukup. Kedua karena Badai sangat sering membuat mantan kekasihnya itu marah. Dan Badai tidak ingin merepotkan diri hingga berakhir membelikan kado sebagai permintaan maaf. Sedangkan Karam tidak pernah meminta hal apapun selain makanan. Perempuan itu bahkan paling suka makanan murah pinggir jalan. Lalu bagian mananya yang mantre?
"Gue kan sering minta makan!"
"Kucing Mama gue juga sering minta makan. Makanannya lebih mahal dari punya lo lagi." Jelas Badai.
Karam ber-oh ria. Ada semacam kesenangan dan kelegaan dalam dirinya mengetahui bahwa ia tidak seburuk apa yang ia pikirkan sendiri.
"Oke kembali ke topik. Ini udah tiga hari dan kayaknya lo udah kelamaan disini Bai," ujarnya.
Badai cukup takjub dengan cara Karam berujar tanpa bisa ditebak. Sedetik ia menghindari sebuah topik, lalu sedetik lagi ia angkat dengan sebuah kalimat langsung yang tak bisa dihindari.
"Gue baru tiga hari, lo udah hampir sebulan." Dan bukan Badai yang namanya jika ia tenggelam dan kalah dari adu percakapan bersama Karam.
"Baru tiga minggu kali..."
"Jadi kapan lo mau balik?" todong Badai.
Karam tak langsung menjawab. Jujur saja, hatinya masih berantakan dan ia menangis tiap malam. Ketika ia bersama Badai, kadang ingatan tentang Pian menyerobot paksa seolah ingin menyiksa. Karam belum sembuh dan ia masih ingin mengasingkan hatinya lebih lama lagi.
"Kasih gue sedikit waktu lagi," Karam berujar dengan serius. Ia tahu benar bagaimana kondisi hatinya saat ini.
"Besok, gue balik." Badai berujar setengah ragu-ragu. Sebenarnya ia memang tidak berencana tinggal lama di Bali. Ia meninggalkan Jakarta secara mendadak dan ada banyak hal yang ia terlantarkan tiba-tiba. Namun, hati Badai juga tidak bisa meninggalkan Karam sendiri.
"Uwuuu, anak pintar!" seru Karam nampak begitu senang. Badai jadi sedikit kesal karena merasa terusir secara halus.
"Terus kalau lo kapan baliknya?" todong Karam sekali lagi.
Lagi-lagi Karam tak langsung menjawab, ia lalu memasukkan tangan ke saku. Lalu berhenti karena mendadak merasa ragu-ragu. "Gue pasti balik lah. Lagian abis ini juga udah masuk kuliah kan."
Pada akhirnya Badai mengangguk, ia menghela napas pelan, sediki tidak rela entah mengapa. Badai tahu benar Karam sedang tidak baik-baik saja. Matanya merah tiap pagi. Perempuan itu sering melamun, nampak sedih. Dan yang paling menyesakkan, pernah sekali Karam salah menyebut namanya. Ia memanggil nama Pian, lelaki yang membuatnya menangis tiap malam.
Namun Badai tidak bisa marah. Karam mengatakan bahwa semua hal tentang Pian telah usai. Dan rasa sakit yang mereka bagi, Badai pun turut berperan di dalamnya.
Setelah luka-luka yang dibagi bersama. Badai hanya bisa berharap musim berlalu lebih cepat bersamaan sisa luka yang ada.
****
Mau double up? Likenya kudu 400+ wkwkwk.
Belum bikin soalnya, jdi bikin challenge yang mustahil XD.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Love Someone
Teen FictionHow to love someone? Ini adalah sebuah pesan. Untuk hati-hati yang terluka di penghujung malam. Untuk rindu-rindu yang tak tersampaikan. Dan untuk tangan-tangan yang tak mendapat balasan. Segala hal tentang cinta memang tidak selalu bahagia, namun...