Halo semua! Kali ini aku balik lagi dan akan memperbaiki EYD yang kurang tepat dan nggak enak dibaca. So baca lagi yaa.. Jangan lupa vote, komen dan Share juga. Bakalan ada adegan yang ditambahin gitu lho!
Di dunia ini nggak ada yang instan. Kecuali Mie Instan.
-Arina Or Arisa?Versi Revisi
Awalnya Arina berekspektasi bahwa mempunyai saudari kembar itu menyenangkan. Tetapi semakin ia tumbuh dewasa, realita berkata lain. Mempunyai saudari kembar itu tidak menyenangkan dan tidak mudah bagi Arina. Arina sadar, bahwa ia hanya dianggap sebagai cadangan bagi Arisa—saudari kembarnya. Karena apa-apa harus berbagi dengannya. Tidak, Arina bukan orang yang selalu sabar jika sesuatu miliknya harus selalu dibagi. Ia masih mempunyai hak paten untuk menikmati apa yang dimilikinya. Lantas apakah Arina juga harus membagi orang yang dia sukai? Hal itu mungkin saja terjadi di kehidupannya. Menyedihkan memang.
Sewaktu kecil, Arina selalu menjadi yang kedua dan Arisa selalu saja yang pertama. Jika Arina menginginkan sebuah boneka, maka Arisa lah yang akan mendapatkannya. Jika mereka sakit, maka Arisa lah yang diutamakan untuk sembuh. Jika mereka terjatuh, maka Arisa lah yang akan diberikan pertolongan pertama. Selalu saja Arisa. Lantas kapan Arina menjadi yang pertama? Mungkin tidak. Hal itu hanya ada dalam imajinya semata.
Suara tuts Piano terdengar merdu dan menggema di ruangan musik keluarga Marinka. Dengan lihainya, cewek itu menekan tuts-tuts Piano seakan ia tengah berada di atas panggung. Siapa lagi jika bukan Arisa Anastasya Marinka—cewek penyuka Piano. Berbeda halnya dengan suara senar Gitar yang hanya terdengar di dalam kamar. Seakan cewek cantik itu tengah berada di belakang panggung. Dia Arina. Arina Aurora Marinka—cewek penyuka Gitar.
Jika Arisa ada di ruang musik, maka Arina tidak akan berada disana. Mengapa? Alasannya simple. Farah akan melarang Arina jika cewek itu hanya sekadar memetik senar Gitar tanpa medali.
Lain halnya dengan Arisa yang selalu dispesialkan. Bagaimana tidak, cewek itu pernah mengikuti beberapa kompetisi Piano di sekolah. Sudah pasti, Farah akan terus mendukung Arisa dan akan selalu menyayanginya. Apalagi, ia pernah membawa beberapa piagam penghargaan dari kompetisi Piano yang pernah di ikutinya itu.
Well. Arina hanya dekat dengan Zidan—Papanya. karena hanya dia yang bisa mengerti keadaan Arina, apapun itu. Sementara Arisa, dia dekat dengan keduanya—Zidan dan Farah. Sungguh keluarga yang hangat dan harmonis. Arina sesekali pernah merasa iri ketika melihat kedekatan Arisa bersama Zidan dan Farah. Terkadang, cewek itu merasa seperti orang asing walaupun tinggal di atap yang sama.
"Sayang, nanti kalau udah selesai latihan, susunya diminum ya ... ada di meja makan, Mama Arisan dulu," ujar Farah setengah berteriak. Wanita paruh baya itu langsung bergegas menyambar kunci Mobil di atas nakas.
"Iya Ma, makasih!" jawab Arisa berteriak.
Setelah Farah sudah pergi. Kemudian Arisa menghentikan aktivitasnya, dan langsung bergegas ke meja makan untuk meminum susu yang sudah disiapkan Farah tadi.
Selang beberapa menit, Arina terlihat turun dari tangga memakai Hoodie abu-abu dan rok selutut berwarna putih tulang. Rambutnya di ikat kuda dengan beberapa helai yang dibiarkan tidak terikat. Tak hanya itu, Gitar kesayangannya ia tengger. Sederhana, sih. Namun, terlihat cantik dan perfect di tubuh imutnya.
"Udah rapi aja. Mau kemana, Rin?" tanya Arisa.
"Biasa, ke rumah Dira," jawab Arina seraya mengambil sepotong kue yang berada di atas meja makan.
"Dira?" Arisa terlihat berpikir.
"Gue ikut deh. Tunggu bentar, gue ganti baju dulu." Cewek itu langsung lari terbirit birit ke kamarnya yang berada di sebelah kanan kamar Arina. Sementara Arina hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Arisa yang selalu bersemangat saat ia akan pergi ke rumah Dira.
Tidak lama kemudian, Arisa sudah muncul dan terlihat turun dari tangga. Wajahnya berseri-seri. Apalagi, warna bajunya yang menambah kesan feminim. "Gimana, gue udah oke, nggak?" Arisa memutar badannya. Memperlihatkan semua penampilannya kepada Arina.
Ekor mata Arina bergerak melihat penampilan Arisa dari bawah sampai atas. Dress Pink selutut, rambut yang terurai bebas, dan Make up yang menghiasi wajah cantiknya. Sangat Perfect.
"Yaampun, udah lebih dari oke! Btw, kayak mau ke rumah doi aja, make up-an segala," komentar Arina.
"I-iya biarin dong! Kan mau keluar rumah, harus perfect lah," balas Arisa agak kikuk.
Arina hanya mengendikkan bahunya menanggapi ucapan Arisa yang setengah benar.
"Ngomong-ngomong kita naik apa? Mobil kan?"
"Motor aja lah, tenang gue yang nyetir."
"Oke!" seru Arisa semangat.
Setelah itu mereka langsung menyusuri jalanan Ibukota. Memang, jarak rumah mereka dengan rumah Dira cukup jauh. Sesekali mereka berdua menjadi pusat perhatian beberapa orang. Alasannya cukup logis. Apalagi, jika bukan karena wajahnya yang kembar dan sama-sama cantik. Perbedaannya hanya satu. Arisa yang terlihat anggun dengan penampilannya, sedangkan Arina tidak terlalu anggun. Tetapi, bukan berarti Arina tomboy.
•••
Dibalik tembok. Arina mengintip. Zidan dan Farah terlihat bahagia. Ada Arisa disana, dengan medali penghargaan yang melingkar dilehernya. Zidan dan Farah terus mengelus puncak kepala Arisa. Tidak tahu jika dibalik tembok ada seorang anak lainnya yang cemburu.
Saat itu. Adalah saat dimana Arina merasa tidak berguna dan tidak dibutuhkan di dunia ini. Semua perhatian tertuju pada Arisa. Tidak ada yang melihatnya sedikitpun. Seperti makhluk halus yang bernyawa. Tanpa sadar, cewek berumur 13 tahun itu menitikkan air mata. Mengingat janji Zidan kepadanya bahwa katanya lelaki itu akan menemani Arina kursus Gitar hari ini.
Namun kenyataannya, Zidan melanggar. Lelaki paruh baya itu lebih memilih untuk menyaksikan kemenangan Arisa, daripada menemani Arina yang masih belajar. Menyakitkan bukan? Hingga sejak saat itu Arina tidak mau kursus Gitar lagi. Bagi Arina, Gitar hanya teman kehampaannya.
"Selamat ya, sayang ..." sahut Zidan lembut, Arisa tersenyum. Disusul Farah yang mencium puncak kepala Arisa.
"Makasih, Papa."
Tidak jauh, dari tempat mereka, terlihat seorang Ibu yang merasa kepanasan. "Makannya Ge! Kalau mau menang, lihat Arisa! Dia hebat main Pianonya. Jangan main-main mulu! Apalagi sama Arina! Ngerti kamu?!" sentaknya kepada sang anak.
Sementara anak itu hanya menunduk takut. Padahal, Arina adalah seorang teman yang baik dan sangat cerdas dalam bidang akademik. Lantas, mengapa Orang tua merasa bahwa perkataannya selalu benar? Tolong jangan terlalu egois, hak anak jelas berlaku di negara demokrasi ini.
Sejak itu pula, Arina percaya bahwa pilih kasih itu memang ada di dunia nyata. Bukan sekadar di dalam sinetron atau film. Arina mulai menyimpulkan, bahwa setiap langkah yang akan dilaluinya nanti, pasti Arisa yang akan gesit memimpin di depan. Sementara Arina hanya diam di belakang, ibarat seorang penjaga Putri mahkota.
•••
Thanks sudah mau membaca!
Jangan lupa vote, komen, dan share temen-temen!Love,
wildaIg: @Wildd.bi
KAMU SEDANG MEMBACA
Arina or Arisa? (Completed)
Teen FictionAksa itu ibarat daun talas. Nggak bisa disatukan dengan air. Dan airnya itu ibarat Arina. Aksa itu cowok tengil yang terang-terangan mencuri hati Arina, membuat jantung Arina dag-dig-dug, dan juga membuat semuanya berantakan dalam sekejap mata. Kehi...