~> 30

282 39 54
                                    

Hari sudah menggelap --dan sudah pula Yeonhee menyudahi penderitaannya yang telah sulit ia lewati hari ini. Dua puluh menit yang lalu Chanyeol juga sudah mengantarkannya pulang tepat di depan pintu pagar disertai kecupan hangat di dahi yang membuat tubuhnya ikut memanas gugup. Sudah dua puluh menit juga Yeonhee merindukan tawa receh dari Chanyeol yang sebelumnya selalu mengisi kedua telinganya. Ah tidak, dia terlalu berlebihan! Bukan rindu kok, cuman kangen aja. Eh, sama aja ya? Duh, otak gini nih kalo cuman diisi memori tentang Chanyeol. Eaaa.

Gadis itu duduk sambil mengeringkan helai demi helai rambut hitamnya yang masih basah. Cermin di hadapannya membuatnya terpaku sesekali, terpaku kenapa bisa gadis seperti dia disukai oleh seorang Park Chanyeol. Dia tak cantik dan juga tak seluar biasa seperti gadis yang lain. Mungkin dia memiliki sisi lain yang menarik di mata lelaki itu, entah apa --tapi dia sangat bersyukur atas hal itu.

Drrttt~

Ponselnya masih bergetar, menanti sang pemilik mengangkat telepon itu. Yeonhee melirik lalu mengabaikannya lagi. Iya, itu hanya telepon dari Ahra dan juga Zia. Kedua sahabatnya yang paling panik jika terjadi hal-hal buruk padanya. Mungkin mereka sedang panik dengan keadaannya sekarang. Tapi sungguh, dia masih terlalu pusing untuk menjawab pertanyaan bertubi-tubi dari para sahabatnya. Ponsel itu bergetar lagi dan makin membuat Yeonhee frustasi, dia pun terpaksa mengangkat telepon itu dan langsung memaki penelpon itu yang ia kira adalah Ahra.

“LO BERISIK BANGET, SIH! KENAPA NELPON GUA MULU, HAH?!” teriaknya setengah emosi.

Kangen,” balas orang itu sedetik setelah ia mendapat bentakan keras. Setelah sadar akan sesuatu mata Yeonhee langsung mendelik, telinganya menangkap suara berat itu muncul dari …

“Udah makan belum?”

Bibir Yeonhee spontan senyum-senyum sendiri, termakan oleh suara romantis dari Chanyeol. “Udah, barusan selesai,” katanya tiba-tiba mengatur nada suaranya agar terdengar lebih kalem. Begini nih kalo lagi telepon sama doi, bawaannya sok kalem padahal jiwanya kerasukan.

“Kenapa kok tadi marah-marah gitu ngangkat teleponnya?”

“Eh, ng-nggak … emang suara gua aja yang agak keras,” ngeles Yeonhee yang sebenarnya bohong. Dia perlahan merubah posisinya jadi terlentang tiduran di atas ranjang, menikmati setiap detik percakapan ini.

“Lo udah makan?” kali ini dia bertanya balik, sekadar ikut memperpanjang topik.

“Belum, agak males juga.” jawab Chanyeol.

Yeonhee mengerutkan dahi, “Makan dulu sana. Oh iya, demam lo udah beneran sembuh belum? Makan terus minum obat ya, Chan.”

Beberapa detik setelah mengoceh Yeonhee baru tersadar, kenapa dia terlihat protektif sekali dengan keadaan Chanyeol? Ah, bodoh.

“Perhatian banget sih, jadi sayang.”

“I-ih a-apaan sih lo, gua bodo amat salah, care juga salah. Udah salahin aja gua terus.”

Terdengar suara tawa lelaki itu menggelegar sampai-sampai Chanyeol batuk karena tak dapat mengontrol tawanya. “Gua nggak nyalahin lo kok, cuman beda aja tingkah lo hari ini.”

“Apanya yang beda? Perasaan lo aja kali.”

Chanyeol tiba-tiba menjeda percakapan itu, terlalu lama hingga Yeonhee kebingungan kenapa tak ada suara balasan lagi di telepon. Apa Chanyeol ketiduran?

“Chan? Halo? Heh? Woi? Sat tidur lo?!”

Belum juga ada sapaan balik, ah mungkin benar Chanyeol ketiduran. Yeonhee pun menghela sedih, sedih karena sebentar sekali percakapan ini terjadi. Ibu jarinya mengarah pada tombol pengakhir panggilan tapi saat akan ditekan tiba-tiba suara berat itu muncul lagi.

Boyfriend [Full Chapter]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang