Bel sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu. Namun, ia masih tidak ingin beranjak dari tempat saat ini. Walaupun, ia sudah tidak menangis. Rasanya malas sekali jika harus kembali ke kelas. Dela takut jika ternyata Raya masih marah dengannya. Tiba-tiba HP-nya bergetar. Ada telepon masuk dari Ditya. Pasti Arthur telah memberi kabar kepada Ditya. Ia segera mengangkatnya.
"Halo." Ucap Dela parau.
"Halo del, lo kenapa? Kalo ada masalah cerita sama gue." Ditya sepertinya sedang khawatir dengan Dela.
"Gue pengen ketemuan sama lo nanti pulang sekolah."
"Mm, oke. Dimana?" Ditya tidak keberatan dengan permintaan Dela. Mungkin Dela ingin menceritakan sesuatu kepada Ditya.
"Di cafe yang biasa aja."
"Oke, tapi lo nggak kenapa-kenapa kan?" Tanya Ditya lagi.
"Gue baik-baik aja." Jawab Dela sambil berusaha untuk tersenyum. Walaupun, Ditya tidak mungkin bisa melihat senyuman tersebut.
"Mau gue jemput nanti?" Tanya Ditya lagi.
"Nggak usah, gue nggak mau terlalu ngerepotin lo."
"Ya udah, tapi lo jangan nangis lho ya. Jangan-jangan disana, lo nangis ya. Kata Arthur, tadi tiba-tiba lo keluar kelas waktu abis berantem sama temen lo."
"Nggak kali, siapa juga yang nangis." Elak Dela.
"Udah nggak usah bohong, gue tau lo itu juga cewek biasa. Jadi juga bisa nangis." Oceh Ditya sambil tertawa.
"Iyain." Jawab Dela pasrah.
"Seandainya gue satu sekolah sama lo, pasti gue bakal temenin lo, bikin lo bisa ketawa lagi, dan juga bisa menghapus air mata langka lo itu." Dela terkekeh mendengar-nya.
"Langka gimana coba." Ucap Dela sambil geleng-geleng kepala. Keadaan Dela sudah membaik sekarang. Hanya karena ocehan Ditya.
"Lo kan jarang nangis. Pasti sekarang lo lagi sendirian di suatu tempat yang sepi biar nggak ada yang ngeliatin lo nangis kan."
"Lo peramal apa gimana sih." Ucap Dela kesal.
"Nggak kok, yang peramal itu kan Dilan. Kalo gue pelamar buat lo. Tunggu aja 10 tahun lagi." Ucap Ditya sambil terkekeh.
"Kelamaan ih." Dela berdecak kesal. Sedangkan, disana Ditya tertawa mendengar-nya.
"Pengen cepet nikah neng? Sekolah aja belum selesai." Goda Ditya.
Pipi Dela bersemu merah. Untung saja Ditya tidak di sampingnya sekarang. Ditya sangat puas bisa mengerjai Dela seperti itu. Telepon pun langsung ditutup oleh Dela karena ia akan segera kembali ke kelasnya.
Sesampainya di kelas, kondisi tidak kondusif. Ternyata guru yang mengajar sedang berhalangan untuk datang.
"Del ada tugas hal 121." Ucap Arthur ketika Dela sudah duduk di bangkunya. Sedangkan, Raya masih diam. Sibuk mengerjakan sendiri. Dela hanya mengangguk sambil tersenyum. Mata Dela yang terlihat sembab pun sempat membuat Arthur bingung. Apa mungkin Dela baru saja menangis? Begitu pikir Arthur. Karena seperti yang sudah dijelaskan tadi, Dela jarang menangis. Dela pun menyibukkan dirinya dengan tugas yang diberikan daripada terus larut dalam rasa bersalah.
------------
Bel istirahat berbunyi, semua siswa langsung keluar meninggalkan kelas masing-masing menuju kantin. Sedangkan, Dela memilih untuk berdiam diri di dalam kelas sendirian. Bobby sempat meminta Dela agar mau ditemani. Tapi, Dela dengan cepat menolaknya. Ya, teman-temannya belum ada yang tau apa akibat keributan tadi pagi antara Dela dan Raya sebenarnya.Dela merogoh laci mejanya untuk mengambil HP-nya. Namun, yang ia temukan malah sebuah kertas HVS bertuliskan, "GIMANA RASANYA DIMARAHIN SAMA SAHABAT SENDIRI? ENAK KAN, HAHA. RASAIN TUH! MAKANYA JANGAN SOK NGGAK PEDULI SAMA GUE. LO MASIH SEDIH YA KAN GARA-GARA TADI!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Say You Won't Let Go [Complete]
Teen Fiction#768 dari 44,8 ribu on fiksiremaja (18-03-19) #16 dari 2,13 ribu on secretadmirer (20-03-19) #534 dari 7,17 ribu on acak (09-04-19) "Gue tau, gue terlambat untuk ungkapin ini semua ke lo..." Lalu, Ditya pergi meninggalkan Dela sendirian. Dela bingun...