Ambisi 9

1K 75 5
                                    

Mata coklat Bhila membaca deretan kata disebuah brosur yang ditempel pada mading. Brosur yang sangat menarik perhatiannya. Isinya hanyalah pengumuman perlombaan fisika disalah satu universitas. Tapi bukan itu yang membuat dia tertarik. Angka sang pemenanglah yang menjadi fokusnya.

"Biaya pendaftaran cuma 50.000,00-, hmm. Lumayan. Kalo menang hadiahnya 500.000,00-. Gue harus ikut! Untung banyak kalau gue menang!" bisiknya penuh tekad. Tanpa sadar ternyata bisikan itu terdengar oleh orang yang berdiri tepat di sebelahnya. Orang itu terkekeh kecil seraya berpura-pura membaca karya sastra yang ada pada mading yang sama.

"Ternyata lo ikut lomba karna ngincar hadiahnya doang?" Bhila menoleh dan menemukan sosok orang yang meminjamkannya jaket beberapa hari yang lalu. Cowok itu merubah posisi menjadi menghadap Bhila sepenuhnya.

"Jadi selama ini motivasi lo jadi juara cuma buat hadiahnya? Menarik juga," tambah cowok itu.

Bhila bersedekap dan kembali melihat brosur. "Semua orang pasti juga mengincar itu. Hidup perlu uang, kalau nggak mau mati," jawab Bhila datar.

Cowok itu mengangguk kecil lalu menaikkan alis sebelah. "Tapi bukan berarti uang segalanya."

"Bagi gue uanglah segalanya. Hukum yang dipandang adil saja bisa di beli, terbukti kalau uanglah yang punya kendali penuh pada kehidupan."

"Itu benar, tapi bukan semuanya bisa dibeli sama uang," kritik si cowok dengan tenang. Matanya masih menatap Bhila yang fokus pada mading.

"Oh, ya? Kalau pun memang ada, gue nggak berminat memilikinya."

Dahi cowok itu mengkerut, "Kenapa?"

Bhila pun kembali menoleh ke lelaki itu lalu menjawab dengan raut datar, "Karena nggak menguntungkan bagi gue."

Setelah mengatakan itu, Bhila pun berbalik meninggalkan cowok itu di mading sendirian. Lelaki itu merasa bingung sekaligus aneh dengan pemikiran Bhila. Pemikiran gadis itu terlalu realistis. Tidak seperti pemikiran cewek pada umumnya. Dan itu membuatnya semakin tertarik pada Bhila.

"Leon!" merasa dirinya dipanggil. Cowok itu pun membalikkan badan seraya tersenyum pada sosok gadis cantik yang berlari kecil ke arahnya.

"Hallo, sayang!" wajah gadis itu merona mendengar panggilan dari Leon. Apalagi saat ini banyak orang yang memperhatikan mereka.

"Apaan, sih, sayang-sayang! Malu tahu!" ujar gadis itu sembari mencubit pinggang Leon.

"Aduh! Sakit, yank!"

"Ihh, kamu dibilang malah diulang!"

"Yah, mau gimana lagi. Aku kan mau ungkapin kalau aku sayang kamu." Kembali wajah sang gadis memerah. Malu karena banyak orang yang menyaksikan serta malu tersipu karena perkataan Leon. Dengan kepala menunduk, ia pun mengamit lengan Leon dan menyeret lelaki itu menjauh.

"Eh, ini mau nyeret aku ke mana, nih?"

"Ke kelas, lah!"

"Yaaahhhh! Aku pikir ke orang tua kamu."

"Hah? Buat apa?"

"Minta restu."

Pipi Raya kembali memerah. Tidak ingin Kembali digoda, gadis itu pun memilih diam. Melihat sikap kekasihnya yang malu-malu membuat Leon terkekeh geli.

"Kamu tumben di mading, ada yang menarik, ya?" Raya mencoba mengalihkan perhatian. Leon melirik gadis itu sekilas lalu kembali ke lorong yang ramai.

"Nggak ada, kok. Cuma tadi lagi ngobrol aja sama temen di sana." Raya mengangguk dan tak bertanya lagi. Mereka pun melanjutkan jalan tanpa ada percakapan yang terlalu penting. Hanya percakapan ala orang pacaran pada umumnya. Tapi itu sukses membuat setiap orang yang melihatnya iri.

Ambitious GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang