Ambisi 1

2.1K 107 14
                                    

Tatapan malas itu jatuh ke lapangan basket yang lengang. Terik panas membuat orang malas untuk bergerak. Menginginkan bermalas-malasan ketimbang beraktifitas. Zion menghela nafas bosan. Boleh saja matanya menatap lapangan, tetapi tidak dengan otaknya. Terkenal dengan pengoleksi angka merah terbanyak seangkatan tidak menghalangi lelaki tampan itu memakai otaknya. Namun otaknya itu hanya digunakan untuk hal tidak penting. Seperti sekarang.

"Woy, guys! Main petak umpet, kuy!" suara ajakannya menggelegar memenuhi kelasnya yang hanya tersisa beberapa orang. Saat ini istirahat kedua. Ada yang ke kantin adapula yang ibadah.

"Kagak, ah! Permainan bocah!" tolak salah satu lelaki berkumis rapi tetapi masih terlihat tampan. Lelaki itu Faroy Saputra. Salah satu sahabat Zion.

"Alah, biasanya lo juga kayak bocah, tai!" balas cowok berbadan bongsor yang sedang fokus terhadap game online diponselnya. Zion terkekeh dan menepuk punggung Faroy kencang.

"Lagi waras dia, nih," ejek Zion sambil tergelak.

"Lo pikir gue gila apa? Tuh, si gentong yang gila. Gue sih cuma kebawa dia," balas Faroy sambil menunjuk Genta yang masih fokus ke ponsel.

"Eh, anak Rony, lo ngomong kok suka bener, sih?" jawab Genta lalu tertawa kencang bersama Faroy. Zion juga ikut tergelak tetapi berhenti ketika Faroy berucap.

"Woy! Woy, diam!" semua seketika diam.

Tut~~~

"Anjir, bau jigong kampret!"

"Siapa yang buang bangke di sini!"

Semua orang langsung bergerak menjauh dari Faroy sambil menutup hidung. Sang tersangka hanya menyengir sambil membaui hasil pembuangan pencernaannya itu. "Sumpah lo jorok amat dah!" gerutu salah satu siswi dengan kesal.

"Daripada gue sakit nahan kentut mending gue lepaslah, perut gue jadi lega, huahaha."

"Kami yang sengsara jadinya!" balas siswi itu lagi. Faroy hanya nyengir dan kembali duduk dengan kaki naik ke atas meja. Yang lain juga begitu, ikut duduk kembali ke bangku masing-masing.

"Tumben pada diam, biasanya pada rusuh." Seorang lelaki dengan rambut setengah basah menghampiri tiga lelaki yang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Zion yang termenung, Faroy yang lagi ngupil, dan Genta yang masih ngegame menoleh serentak.

"Udah selesai ibadah, bro?" basa basi Zion. Lelaki itu menarik bangku dan duduk tepat di samping Zion. "Hmmm," jawabnya simple.

"Fi, main petak umpet, kuy!" lelaki yang bernamatag Khafi itu menatap aneh Zion. "Lo nggak ada kerjaan, ya? Tumben main petak umpet. Biasanya lo anti sama yang berbaur 'bocah'."

"Bukan petak umpet itulah. Permainan gue itu antimainstream, tidak ada yang pernah mainin ini sebelumnya."

"Apaan tuh?" Faroy mulai tertarik. Genta pun sama, ia sudah memasukkan ponsel ke kantong celana lalu menatap serius Zion yang menyeringai.

"Kita main petak umpet sepatu." Ketiga temannya langsung mengernyitkan dahi.

"Apaan lagi permainan ini?" keluh Khafi dengan nada lelah.

"Buka satu sepatu kita, trus kita tukaran. Nah, jadi kita ntu bakal nyembunyiin sepatu yang kita dapet. Selama lima menit waktu menyembunyikan itu, trus kita ngumpul lagi di sini. Masing-masing kita putar tubuh sambil membungkuk sepuluh kali. Lalu mulai cari sepatu milik sendiri selama sepuluh menit. Gimana?" Zion menatap penuh harap ketiga temannya ini.

"Trus, gimana nentuin siapa yang menang ama yang kalah?" Faroy pun bertanya.

"Siapa yang nemuin sepatu pertama kali menang, yang terakhir kalah. Gitu, kan?" tebak Khafi benar. Zion mengangguk mantap.

Ambitious GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang