Ambisi 19

1K 72 6
                                    

Maap kalau ada typo, koreksi ya. Enjoy guys 😇😊

—————————

Bhila kembali teringat akan mimpi yang menyerangnya saat pingsan tadi. Mimpi itu begitu nyata baginya. Itu tak seperti mimpi yang selalu menghiasi otaknya saat terlelap. Itu bagai kilas balik ingatan. Seolah itu benar-benar pernah terjadi. Tapi janggal. Masa ia memimpikan dirinya memiliki seorang kakak laki-laki. Dan laki-laki dalam mimpinya memanggil dirinya dengan nama 'Ella'. Yah, memang di namanya ada unsur itu. Namun selama ia hidup tak pernah sekali pun seseorang memanggilnya dengan sebutan itu. Bhila pun mencoba untuk lebih mengingat kenangan masa lalunya. Mungkin aja ia melihat sesuatu. Bukannya mendapat pencerahan, kepalanya malah semakin berdenyut. Tangannya pun beralih memijit pelipis disertai ringisan kecil yang keluar dari bibirnya. Ia menghembuskan nafas lelah, menyerah untuk mengingat masa lalu saat ini.

"Kenapa? Makin pusing kepala lo?" Bhila menolehkan kepalanya ke samping. Di sana Zion berada dengan kecemasannya yang nyata. Oh, kepala Bhila semakin sakit melihat tingkah aneh lelaki ini. Ayolah! Bagaimana mungkin seorang Zion Pradipta Wansa bisa peduli dengan dirinya ini.

"Udah mendingan kok," jawabnya seadanya. Keinginannya saat ini adalah pulang secepatnya dan mengistirahatkan tubuh. Ditambah, menghindari Zion yang bertingkah aneh.

"Oh, ya. Mommy tadi bungkusin lauk buat lo di rumah. Nih, tas lo juga." Zion menyerahkan tas dan sekantong makanan yang Mommy Zion berikan. Tak ingin memperpanjang obrolan dengan Zion yang sedang tak waras, Bhila menerima itu dengan senyuman kecil.

"Ah, satu lagi. Ada obat di kantong itu. Jangan lupa diminum!" tambah Zion setelah mesin mobil dihidupkan. Bhila hanya mengangguk paham dan menyandarkan badan ke jok. Mungkin ia bisa tidur selama perjalanan 20 menit ini. Kalau tidak macet.

Baru sedetik mata coklatnya terpejam, ia tersentak kaget saat merasakan sandaran jok menurun. Bekerja secara insting, Bhila langsung terjaga dan berpegangan pada bahu Zion tepat dihadapannya.

Manik coklat beningnya melotot. Jantungnya berpacu cepat layaknya berlari dari kejaran anjing. Nafasnya tiba-tiba tertahan lantaran jarak wajah mereka yang terlalu dekat. Bhila seharusnya segera menarik diri. Namun tubuhnya seperti membeku, tak bisa digerakkan. Itu dikarenakan si iris biru itu memikat manik coklatnya. Menenggelamkannya pada indahnya langit biru yang terlihat di bola itu. Indah.

Begitu pun Zion. Ia terpana dengan iris menenangkan milik Bhila. Jiwanya secara ajaib bisa tenang dan tenteram hanya dengan menatap manik coklat ini. Ia tak pernah merasakan ini sebelumnya.

Guk! Guk!

Hingga suara anjing menggonggong menyadarkan mereka. Segera saja dua remaja itu menarik diri. Bhila melemparkan wajah ke samping kirinya seraya menenangkan dadanya yang berdetak hebat. Sedangkan Zion menggaruk rambut salah tingkah.

"Ma... Maaf ngagetin lo. Gu.. Gue cuma mau lo nyaman tidurnya," jelas Zion gagap.

"Oh... Makasih. Tapi gak perlu." Bhila pun ikut tergagap.

Merasa tak nyaman dengan kecanggungan ini, Zion memilih untuk menjalankan mobil di jalanan malam ibu kota. Tak ada satu pun dari mereka yang membuka suara selama perjalanan. Hingga kecanggungan yang berlangsung selama duapuluh menit itu terhenti ketika mobil Zion berhenti tepat di depan rumah kecil Bhila.

Hati kecil Zion merasa tercubit, terlambat menyadari kalau dirinya salah membenci orang. Lihatlah perbedaan yang amat sangat jelas diantara mereka. Kehidupan mereka itu sangat bertolak belakang. Banyak beban kasatmata yang disandang gadis itu seorang diri, padahal tubuh itu sangat kecil dan rapuh. Mata birunya menatap dalam diam Bhila yang keluar mobil dengan terburu-buru. Tubuh itu membelakangi mobil, rambut coklat lurus nan panjang gadis itu sedikit bergoyang saat melangkah. Satu lagi yang Zion sadari, gadis itu manis.

💢💢💢

Apa tadi ia terlalu tidak sopan? Keluar dari mobil Zion tanpa berpamitan. Tapi sungguh, ia benar-benar tak bisa mengeluarkan suara. Entah kenapa sikap aneh Zion malam ini sanggup membuatnya berdebar tak karuan. Tatapan sinis itu berubah menjadi tatapan hangat yang belum pernah Bhila temukan dari Zion. Aneh tapi Bhila suka. Bahkan sikap lembut lelaki itu masih saja terbayang olehnya hingga kini. Tak salah banyak cewek terpesona dengan Zion.

"Dari mana saja kamu? Tengah malam gini baru pulang! Mentang-mentang saya tidak di rumah kamu bisa keluyuran kayak anak ayam!" Bhila tersentak mendengar suara marah Ibunya. Bhila berjengit kaget lalu menundukkan kepala. Tak mau menjadi durhaka dengan membantah perkataan Ibunya.

"Hah, sudahlah! Buang-buang tenaga saya memarahi kamu. Mana uang gaji yang kamu janjikan itu? Mana!" Gia -Ibu Bhila- menengadahkan telapak tangannya ke Bhila layaknya rentenir yang menagih hutang.

"I—itu, gajinya besok dikasih, Bu'. Besok Bhila kasih, ya."

"Hmm, kalau besok belum juga saya terima, bersiaplah kamu bekerja dengan saya! Dengan wajah cantik kamu itu, saya yakin banyak yang akan menginginkan kamu menemani malam mereka." Ancam Gia denggan nada merendahkan.

Bhila yang mendengar itu seketika merinding, ia tak bisa membayangkan dirinya seperti itu. Suara heels Gia terdengar menjauh, Bhila masih terdiam dengan kepala menunduk. Jarinya mencengkeram baju yang saat ini ia pakai, bahkan ia baru sadar kalau bajunya telah berganti. Tampaknya Tante Kinar yang melakukannya.

'Ah, kapan Ibu bisa sehangat Tante Kinar, ya?' tanyanya dalam hati.

"Siapa kamu?" Suara Ibunya kembali terdengar. Bhila melangkah ke ruang tamu, dimana suara itu berasal. Seketika matanya melotot melihat sosok Zion berdiri tepat di hadapan Ibunya dengan cengiran lebar.

"Malem Tante!" sapa ramah lelaki itu.

"Zion? Ngapain lo balik lagi?" Bhila menatap horor Zion. Lelaki itu memperlihatkan sebuah tas dan kantong kresek yang ditentengnya.

"Tas lo ketinggalan di mobil, makanya gue balikin."

"Huh, dasar ABG!" desis Gia lalu berjalan melewati Zion acuh. Zion menatap sosok Gia dengan pandangan bertanya.

Grep!

Zion kembali memutar tubuhnya dan menemukan Bhila yang telah mengambil alih tas dan kantong itu. Gadis bermanik coklat itu tersenyum kaku lalu berujar, "Makasih udah dibawain, sebaiknya lo cepatan pulang, deh. Entar kemaleman lagi."

Zion tentu sadar akan pengusiran dalam kalimat itu, ia terkekeh geli. Bhila adalah gadis pertama yang tak ingin berlama dengan dirinya. Bukan hanya itu, gadis ini yang pertama tak terpesona dengannya, gadis pertama yang berani memandangnya penuh kebencian, dan gadis pertama yang sanggup menentangnya. Huft, tampaknya Zion harus memeriksakan dirinya ke dokter setelah ini. Tak terhitung sudah berapa kali dirinya memuji Bhila hari ini. Itu sungguh bukan dirinya.

"Oke, kalau gitu gue pulang. Besok pagi gue jemput, juga jangan lupa minum obatnya. Tipe cewek kayak lo itu pasti gak mau ketinggalan pelajaran, kan? Cepat sehat!" Zion pun memutar badan, berjalan santai menuju mobilnya yang terparkir indah di luar pagar berkarat rumah Bhila. Meninggalkan Bhila yang bersemu merah sembari memandang punggung tegap itu.

"Gue harap, tuh, cowok udah balik ke wujud iblisnya besok. Jantung gue gak akan aman kalau gini mulu!" bisik Bhila sebelum menutup pintu. Zion mendengar pintu itu tertutup, berbalik lagi lalu memandang pintu kayu reyot itu lama.

"Hidup lo ternyata jauh lebih berat dari yang gue kira."

📕📖📑📔

TBC~~

Holla! Maap lama up-nya 😫🙇😭
Bisa dibilang ide buat nulis ini agak mampet. Maap guys.

Kasih vote ama comment-nya dong, hehehe.

Thanks yak, see you 👋😘😀😚

Ambitious GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang