Kilat dan Petir

56 5 0
                                    

Entah mengapa, waktu selalu terasa berjalan lebih cepat di saat kita sedang berlibur. Tanpa terasa tiga minggu bulan madu kami sudah berakhir. Sekarang kami sedang duduk di ruang tunggu bandara Heathrow, London. Sebentar lagi kami akan terbang kembali menuju Brussels.

Kami duduk di sebuah lounge yang nyaman sambil menunggu penerbangan. Greg sedang memeriksa email-emailnya. Setelah tiga minggu penuh dia sama sekali tidak menyentuh semua urusan pekerjaan, bagaimana mungkin aku mengatakan tidak saat barusan dia minta ijin padaku sebelum mengecek inbox-nya.

Aku sendiri tidak bisa membayangkan sebanyak apa tumpukan pekerjaan yang menantiku saat aku kembali ke kantor hari Senin besok. Tapi aku belum siap memikirkannya. Sepanjang bulan madu kami, Greg memperlakukanku bagaikan seorang putri. Aku masih belum ingin kembali ke realita.

Rehat sejenak dari segala rutinitas pekerjaan, memberi kami kesegaran. Kami memutuskan untuk menikmati hidup. Memandang kehidupan dari sudut pandang lain. Hidup seolah tanpa beban. Kami sangat menikmati setiap saat yang kami lalui bersama. Aku merasa cintaku pada Greg semakin dalam.

Aku memperhatikan wajah Greg yang sedang serius membaca surat yang masuk.

"Ada masalah?" tanyaku sambil mengagumi wajah Greg dari samping. Suamiku, dalam hati aku memujanya.

Greg menggeleng tanpa mengalihkan pandangan matanya dari email yang sedang dibacanya. "Kamu bosan ya?" dia melirikku sekilas. Membuat hatiku jungkir balik.

Entah mengapa hatiku masih saja berdebar setiap kali Greg memandangku. Padahal kami sudah bertahun-tahun bersama. Bahkan dia sudah menjadi suamiku sekarang.

Giliranku yang menggelengkan kepala, "Engga. Aku juga lagi sibuk."

"Sibuk?" sekarang matanya beralih menatapku heran.

"Uh... huh... sibuk lihat kamu," aku terkikik.

Greg tertawa lebar, "Kamu bisa lihat aku setiap hari, sepanjang umur hidupmu." Tangannya mengacak rambutku dengan sepenuh sayangnya.

Panggilan penerbangan menggema dari pengeras suara, rupanya penerbangan kami yang dipanggil. Kami harus segera masuk ke pesawat.

Greg dengan cepat membereskan barang-barangnya. Menggamit lenganku, dan kami pun melangkah masuk ke dalam garbarata yang sudah terpasang, jembatan yang menghubungkan ruang di bandara langsung ke badan pesawat. Menilik hujan yang masih turun di luar tentu saja aku merasa beruntung ada di dalam ruangan. Semua penumpang bisa langsung masuk ke dalam pesawat tanpa harus kehujanan.

Aku menghabiskan sebagian besar waktu di kabin pesawat dengan tidur. Aku masih ingin menikmati saat-saat akhir liburanku. Memanjakan tubuhku selagi bisa. Sebentar lagi aku akan kembali dikepung oleh segala macam rutinitas yang sangat menyita pikiranku. Sudah langsung terbayang rasa lelah baik fisik maupun mental yang kembali harus kuhadapi.

Sejam kemudian, pesawat kami sudah mendarat dengan mulus di Brussels Airport. Greg mengajakku ngobrol, selama pilot sedang mendaratkan pesawatnya, sehingga perhatianku teralihkan. Saat roda menyentuh landasan, tangan Greg menggenggam erat tanganku. Dia sangat hafal perasaan gugupku saat lepas landas dan mendarat.

Setelah lampu kabin kembali menyala dan tanda memakai sabuk pengaman dipadamkan, kami semua melepaskan sabuk pengaman kami, dan melangkah keluar dari pesawat.

Sesampainya di dalam gedung bandara, aku mampir ke toilet sebentar, sementara Greg menunggu di depan conveyor belt untuk mengambil bagasi kami. Tidak berapa lama, Greg sudah menumpukkan semua koper kami di atas kereta dorong.

"Val, kamu tunggu sebentar di sini ya, aku mau pesan taxi bandara dulu di konter depan. Biar nanti petugasnya saja yang membawa kereta bagasi kita."

PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang