Saat kakiku melangkah masuk ke ruang tengah, anak-anak menoleh, "Papa!" jerit Alena. Berlari ke arahku. Aku tertawa dan mengangkatnya tinggi-tinggi seolah dia masih sekecil dulu.
"Han, Alena juara menggambar antar sekolah lho. Hebat kan?" Sylvia tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya.
"Sungguh?" tanyaku pada Alena yang langsung disambut dengan anggukan kepala yang penuh semangat, pipinya memerah, matanya membulat berkilat-kilat. Sangat menggemaskan.
"Whoaa.. hebat sekali anak papa!" Aku mencium pipinya dengan bersuara keras, sampai dia terkikik geli. Menurunkan Alena dari gendonganku, aku memperhatikan baju yang dikenakan Sylvia. Itu baju Melisa.
Rasanya sedari tadi hatiku melihat Melisa, bukan Sylvia. Nampaknya aku harus membiasakan diri melihat Sylvia lagi.
"Di mana Melisa, Syl?"
"Masih di kamar, Han."
Keningku berkerut dalam, "Kenapa? Masih mual?"
"Iya, Han. Sepertinya kamu harus memeriksa dia. Dia muntah sepanjang hari. Nyaris tidak bisa makan. Aku membuatkannya sup ayam. Dia hanya meminum kuahnya. Kalau begini terus lebih baik dia dirawat saja, Han."
"Alena mau liat mami, pa." Alena berlari menuju kamarnya. Tangan Sylvia dengan gesit menangkapnya.
"Jangan sayang, mami lagi sakit. Biarkan dia istirahat ya. Alena main sama mama saja dulu. Mama kan masih kangen sama Alena."
Ponsel Sylvia berbunyi, dia menatap layarnya cukup lama sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengangkatnya. Matanya terpaku melihatku, saat dia menekan tombol di ponselnya, "Greg."
Perlahan Sylvia membalikkan badan menuju taman belakang. Menggeser pintunya perlahan, dan duduk di kursi taman.
Aku menundukkan kepala, tersenyum pada Alena yang masih memandangi mamanya. "Alena, papa mau lihat mami dulu ya."
"Pa, sembuhin mami dong. Papa kan dokter, pasti bisa buat mami cepet sehat, kan? Tadi Alena bilang mami, kalau malam ini mau bobo sama mami. Tapi kata mami, mulai sekarang Alena harus tidur sama mama. Kenapa sih, Pa? Mami marah ya sama Alena. Terus tadi waktu Alena mau kasih liat gambar Alena ke mami. Mami ga mau liat, Alena disuruh keluar katanya mami lagi pusing."
Hatiku seperti diremas rasanya mendengar cerita Alena. Kepalaku mendadak pening. Benar juga, nanti malam aku harus tidur dengan siapa? Melisa? Sylvia?
Perlahan aku mengetuk kamar tidur Alena, ruangan gelap gulita. Tanganku meraba dinding untuk mencari saklar lampu. "Mel, koq gelap-gelapan sih."
Mata Melisa mengerjap karena silau, aku menyalakan lampu samping tempat tidur sebagai gantinya dan mematikan lampu besar supaya tidak terlalu menyilaukan buat Melisa.
Tanganku terulur hendak memegang dahi Melisa, namun saat itu pula dia menarik dirinya, lalu membalikkan badan memunggungiku. Aku menghela napas dalam, mengusir rasa nyeri yang tiba-tiba menusuk hatiku. Aku berusaha mengerti perasaan Melisa, dia pasti sedang terluka saat ini, lalu aku harus bersikap bagaimana? Dia sendiri yang melarangku memberi tahu posisinya pada Sylvia.
Aku melangkah ke arah dinding untuk menutup gordennya. "Mel, kata Sylvia, kamu muntah sepanjang hari. Aku mau periksa kamu sebentar, boleh ya?" aku berkata seperti membujuk anak kecil. Melisa tidak bergerak, bahunya naik turun dan sedikit bergetar. Aku duduk di tempat tidur, tanganku membelai rambutnya. Melisa menolak tanganku.
"Mel, please."
Tanganku turun membelai lengannya, "Mel, lihat aku sebentar."
Aku memaksanya membalikan badan ke arahku. Wajahnya basah oleh air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.
RomanceValentine, salah satu korban tragedi bom di Paris. Luka fisiknya bisa terobati sempurna, tapi luka psikis dan memorynya yang hilang, belum tersembuhkan. Hidupnya sekarang bergantung pada Greg, bule keturunan Indonesia yang menjadi penyelamatnya. De...