Lagu romantis yang dimainkan sebuah grup musik mengalun lembut memenuhi ruangan. "Tonight I Celebrate My Love" dinyanyikan dengan sangat apik oleh seorang pria berkulit gelap. Suaranya menghangatkan hati siapapun yang mendengarnya. Wangi harum masakan menguar di udara. Terakhir kali aku melirik jam di pergelangan tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi pengunjung restoran masih penuh.
Mataku lekat memandangi setangkai bunga mawar putih yang sedang kupegang. Tanganku baru saja bergerak hendak membelai kelopaknya, saat tiba-tiba bunyi ledakan keras menggelegar, suaranya memekakkan telinga. Refleks aku berjongkok sambil menutup telingaku. Kupejamkan mataku rapat-rapat.
Asap putih memenuhi ruangan, bau menyengat menusuk hidungku. Entah bau apa. Bau mesiu? Bau daging yang terbakar? Entahlah. Perlahan kubuka mataku, pandanganku langsung tertuju pada bunga mawar putih yang tadi kupegang. Tapi sekarang warnanya tidak putih lagi. Kelopaknya berwarna merah, seperti darah, tunggu! Bukan seperti darah. Itu memang darah!!
Aku mengedarkan pandangan dengan ngeri, tubuh-tubuh berdarah bergelimpangan di sekitarku. Bau amis darah mengalahkan bau mesiu sekarang. Aku menjerit, sambil berusaha bangkit, tapi kakiku sepertinya ditahan oleh sebuah tangan yang besar, tangan yang berlumur darah. Aku terus menjerit dan menjerit dan menjerit...
"Val! Val! Wake up!" tubuhku diguncang-guncang.
Dengan cepat kubuka mata. Mataku terbeliak liar, keringat membasahi kening dan punggungku. Aku terus meronta untuk melepaskan diri.
"Val! Calm down! It's me. You're home, it's safe here," Suara lembut Emily mengembalikan kesadaranku sepenuhnya.
Kupeluk Emily dengan erat seolah dialah sumber hidupku.
"Kamu bermimpi buruk lagi?" tanyanya sambil merapikan rambut di keningku yang lengket karena keringat.
Aku mengangguk.
"Masih mimpi yang sama?"
Aku kembali mengangguk.
Emily tersenyum menenangkanku. "Tidak apa-apa. Kamu aman di sini. Kamu ada di rumah. Di tengah semua orang yang mencintaimu."
Aku mengangguk. Lagi. Sambil memaksakan sedikit senyum muncul di sudut bibirku. Rumah? Betapa indahnya kata itu didengar telinga. Seandainya ini memang benar rumahku.
"Val, kamu ketiduran sewaktu menggambar, ya?" suara berat Greg mengejutkanku.
Mataku melirik ke pintu, aku menganggukkan kepala.
Greg berdiri dengan bersandar di ambang pintu, lalu dia berjalan perlahan dan mengambil kertas gambarku dari atas meja dan mengamatinya.
Mataku bertanya pada Emily, dan entah kenapa Emily selalu saja bisa mengerti maksudku walau aku tidak mengeluarkan sepatah katapun.
"Hari ini Greg libur. Katanya besok dia mau mengajakmu piknik ke bukit. Kamu suka kan pergi piknik?" tanya Emily sambil tangannya merapikan poniku yang mulai menutupi mata.
Aku mengangguk dengan antusias dan seulas senyum yang terlihat lebih tulus muncul menghias wajahku.
Melihat itu, Greg menghampiriku. Dikecupnya puncak kepalaku. Tidak seperti dulu, sekarang aku tidak berusaha menghindar lagi. Kulihat memang seperti itulah cara mereka berekspresi pada orang yang mereka sayangi.
Tangan lebar Greg meraih tanganku, menarikku berdiri. "Kita minum teh di halaman belakang, ya?"
Refleks aku melirik Emily yang juga mengangguk setuju. Senyum Emily menular padaku. Akhirnya sebuah senyum lebar menghiasi wajahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.
RomanceValentine, salah satu korban tragedi bom di Paris. Luka fisiknya bisa terobati sempurna, tapi luka psikis dan memorynya yang hilang, belum tersembuhkan. Hidupnya sekarang bergantung pada Greg, bule keturunan Indonesia yang menjadi penyelamatnya. De...