HALILINTAR DARI MASA LALU

35 7 0
                                    

Pernikahanku dengan Melisa sudah memasuki tahun ketiga. Dan kuakui, aku bahagia. Satu bentuk kebahagiaan yang berbeda dari yang pernah aku rasakan bersama Sylvia.

Tentu saja, Melisa bukan Sylvia, mereka sangat berbeda. Melisa benar-benar mengasah kemampuanku menduga dan menebak. Untungnya aku tipe orang yang bisa belajar dengan cepat.

Hanya dalam tempo beberapa bulan, aku sudah bisa menebak dengan tepat kemana arah pembicaraan Melisa. Bahkan aku bisa mengerti sebelum Melisa mengatakannya.

Anak-anak juga terlihat bahagia dalam pengasuhan Melisa. Kupikir mereka sudah mulai melupakan Sylvia sedikit demi sedikit. Hanya tinggal kenangan manis yang tidak akan pernah hilang, bahwa mama mereka pernah ada.

Ibu mertuaku berpulang tidak lama setelah pernikahan kami. Kami menduga mama Sylvia tidak pernah pulih dari dukanya karena ditinggal anak sulungnya. Hubungan kami dengan keluarga Sylvia masih sangat baik. Melisa adalah sahabat Sylvia sejak kecil sehingga dia juga cukup dekat dengan keluarga Sylvia.

Beberapa bulan lalu, Melisa baru saja keguguran untuk kedua kalinya. Kandungannya sangat lemah. Pada kehamilannya yang kedua, dia bahkan sudah dirawat di rumah sakit selama dua minggu dan dilanjutkan dengan rawat jalan di rumah selama hampir satu bulan. Dibawah pengawasan ketatku yang notabene adalah seorang dokter kandungan.

Tetapi Tuhan berkehendak lain. Pada saat usia kandungannya memasuki bulan keempat, Melisa harus kembali merelakan bayi dalam rahimnya yang tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

Akibatnya, selama hampir seminggu, Melisa mengurung diri di kamar. Dia sangat berduka, Alena-lah yang banyak menemaninya.

Aku tahu dia kecewa, aku juga. Sebetulnya rasa kecewaku jauh lebih besar dari Melisa, hanya saja aku menutupinya. Bayangkan saja, aku seorang dokter kandungan yang cukup terkenal, bayi lain berhasil kupertahankan sampai lahir. Sementara bayiku sendiri?

Hal inilah yang membuatku tidak bisa menyombongkan segala prestasiku. Hidup dan mati, semua ada di tangan Tuhan. Bukan di tangan dokter.

Sekarang Alena kecil sudah kelas 2 SD. Tubuhnya yang mungil terlihat lucu menggemaskan dalam balutan seragamnya yang kebesaran. Dia menjadi salah satu alasan yang membuat Melisa tidak terlalu lama terpuruk dalam kesedihan.

Hari sabtu besok, Alena merayakan ulangtahunnya yang ke tujuh. Tentu saja Melisa yang paling sibuk mempersiapkan segalanya. Mulai dari membuat sendiri kue ulang tahun dua susun untuk Alena, dan sekaligus mengurus dekorasi, catering dan entah apa lagi.

Sejak keguguran yang pertama aku sudah melarang Melisa menerima pesanan parcel kue dan bunga lagi. Toh, penghasilanku lebih dari cukup untuk kami bisa hidup mapan. Lebih baik Melisa menjaga kesehatan tubuhnya, aku ingin dia hamil lagi.

Saat inipun, jujurnya aku keberatan Melisa yang mengatur semua keperluan acara ulang tahun Alena. Seharusnya Melisa memakai jasa pengatur acara saja, jadi tidak perlu serepot ini.

"Mel, jangan terlalu capek. Biar Mbok Sarmin aja yang mengerjakan itu."

"Tinggal dikit, Han. Tanggung."

Diam-diam, aku memperhatikan bentuk tubuh Melisa yang sedikit berubah. Aku ragu Melisa menyadarinya. Tapi sebagai seorang dokter kandungan, aku bisa melihat perubahan yang terjadi.

Besok pagi aku akan mengambil sample urine Melisa untuk kuperiksa. Aku menghitung-hitung dalam hati sudah selang berapa lama sejak Melisa mengalami keguguran yang kedua.

Kalau aku tidak salah ingat rasanya belum sampai tiga bulan. Aku mengerutkan kening, jeda waktu yang terlalu pendek, masih cukup rawan berulangnya abortus imminens (*keguguran).

PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang