Hari ini kami berkumpul di Ghent, di rumah Emily dan Jack. Lagi. Nampaknya belakangan ini rumah Emily menjadi rumah perayaan. Acara terakhir yang kami rayakan disini adalah pernikahan kami. Dan hari ini kami berkumpul lagi untuk merayakan ulang tahun putriku, Arabelle.
Aku berdiri di jendela dapur, memandang ke arah taman belakang. Kulihat Abelle dalam gendongan Jack yang dengan bangga memperkenalkan cucu pertamanya ini kepada tamu-tamu undangan, yang masih merupakan keluarga dekat kami. Abelle tampak menikmati semua perhatian yang ditujukan padanya.
Melihat postur tubuhnya yang lebih bongsor dibanding bayi lain yang seusianya dan pipinya yang montok sekarang, mau tidak mau aku teringat kembali ke saat kelahirannya.
Abelle lahir premature, hanya 34 minggu, berat badan lahirnya cukup rendah, hanya 2 kilogram. Tubuhnya begitu kecil dan terlihat sangat rapuh. Siapa yang menyangka perkembangan tubuhnya sepesat itu.
Bayiku terpaksa tinggal di rumah sakit selama satu bulan. Organ-organ vitalnya belum berkembang dengan sempurna, seolah dia dipaksa untuk berjuang hidup, karena usia kelahiran yang lebih cepat dari seharusnya.
Masih terbayang jelas di pelupuk mataku, tubuh mungilnya yang telanjang di bawah sinar ultraviolet, kedua matanya ditutupi kain kasa. Tubuh bagian bawahnya hanya ditutupi popok sekali pakai, selebihnya terbuka karena kulitnya harus menerima paparan sinar ultraviolet.
Kulitnya menjadi kering dan sering menangis karena haus, untunglah para perawatnya sangat telaten. Abelle disuapi minum susu sesendok demi sesendok.
Beberapa kali terjadi peristiwa yang membuatku takut. Pernah sekali, saat aku datang pada jam kunjungan, kudapati tabung tempat Abelle disinar, lampunya dalam keadaan mati. Tidak ada tanda-tanda Abelle di sekitar ruangan itu. Sementara tabung yang lain semua masih terisi dengan bayi-bayi yang sama. Lalu kemana Abelle-ku?
Aku menyambar tangan suster yang lewat, kutanyakan di mana Abelle dengan suara yang levelnya nyaris mendekati histeris. Untung saja Greg tiba tepat waktu untuk meraih tubuhku yang limbung.
Aku meninggalkan Greg di lapangan parkir saat dia memarkirkan mobil kami tadi. Karena tidak sabar, aku berlari duluan dan mendapati tabung Abelle yang kosong. Itu sebabnya aku begitu shock.
Karena panik, aku malah tidak mengerti informasi apa yang disampaikan oleh suster jaga barusan. Untung Greg tetap tenang, dialah yang menjelaskan padaku kejadian sebenarnya, "Val, tenang dulu. Semua baik-baik saja, tadi pagi napas Abelle sempat terhenti. Jantungnya masih belum berfungsi dengan baik. Tapi sekarang kondisinya sudah kembali stabil. Dia masih ada di ruang perawatan intensif. Nanti sore kalau kondisinya tetap stabil, dia bisa kembali ke ruangannya lagi."
Aku menangis karena lega. Aku tidak bisa membayangkan kalau ada hal buruk yang terjadi pada Abelle. Abelle terpaksa lahir premature karena kelalaianku. Seharusnya sekarang dia masih ada di dalam perutku. Hangat, aman dan nyaman.
"Hai, kamu melamun?" Greg memelukku dari belakang. Aku terkejut karena tidak mendengarnya datang.
Aku tersenyum, "aku lagi liatin Abelle. Dia terlihat sehat dan montok. Lucu ya? Matanya sipit tapi bola matanya berwarna biru. Hidungnya mancung, kayak kamu."
Greg mengangguk setuju, "Yep, wajahnya perpaduan kita. Kamu sudah merawatnya dengan sangat baik, Val. Istriku yang hebat." Greg mencium pipiku.
Aku menggelengkan kepalaku, "Abelle lahir sebelum waktunya, aku yang salah Greg."
"No way! Kamu selalu saja berpikir seperti itu. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri Val. Don't blame yourself." Greg menempelkan pipinya ke pipiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.
RomanceValentine, salah satu korban tragedi bom di Paris. Luka fisiknya bisa terobati sempurna, tapi luka psikis dan memorynya yang hilang, belum tersembuhkan. Hidupnya sekarang bergantung pada Greg, bule keturunan Indonesia yang menjadi penyelamatnya. De...