CARA UNIK UNTUK BAHAGIA

67 6 3
                                    

Aku berdiri di depan jendela kaca besar, di pinggiran kota Brussels. Hari ini genap seminggu kami menempati rumah baru. Rumah yang sengaja di bangun Greg di pinggir kota, kami jatuh cinta dengan suasana sekitarnya yang masih asri.

Pohon maple berjajar di sepanjang jalan masuk menuju rumah kami. Perlahan aku mendorong pintu geser yang menuju taman belakang.

Perut bulatku yang besar membuatku bergerak dengan canggung. Ya, aku sedang mengandung anak keduaku dari Greg. Hasil USG sudah memastikan bayi kami laki-laki. Greg girang bukan kepalang, saat aku mengabarkan kehamilanku.

Dia sama sekali tidak tahu saat aku melepaskan alat kontrasepsi yang kupakai. Aku memang merencanakan bayi ini sebagai hadiah kejutan ulang tahun untuknya.

Berselang empat bulan setelah kepulanganku ke Brussels, aku baru bisa punya kesempatan kembali ke Indonesia. Seperti rencana awalku, aku membereskan semua hal yang mengganjal di masa laluku. Aku bersyukur mendengar Melisa berhasil mempertahankan kandungannya.

Siang itu, Handrian membawaku, anak-anak dan Melisa ke sebuah villa yang bersuasana asri di daerah Lembang. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari di sana. Membicarakan banyak hal dalam suasana santai.

Aku bercerita kepada anak-anak, dimulai dari awal, yaitu sejak aku menghilang dari tempat terjadinya tragedi bom Paris, sampai hari dimana aku berhasil mendapatkan kembali semua ingatanku. Tidak ada yang kusembunyikan, termasuk seluruh peran Greg sejak hari pertama hidup baruku di Ghent.

Sesekali anakku menyela dengan pertanyaan polos dan sederhana. Aku berusaha sedapat mungkin menjawab semua pertanyaan mereka dengan menggunakan logika cara berpikir anak supaya mereka bisa mengerti. Terutama untuk Alena.

Sebelum berangkat, aku sudah mempersiapkan diri. Awalnya kupikir hatiku akan sakit melihat kebersamaan mereka. Tapi ternyata hatiku tetap damai sejahtera melihat mereka saling menyayangi dengan begitu alami. Aku menyadari kami sudah menemukan jalan untuk melanjutkan hidup dengan cara kami masing-masing.

Aku bisa melihat kasih sayang Melisa yang tulus terhadap anak-anakku. Aku yakin kebahagian mereka akan bertambah lengkap dengan hadirnya calon anggota baru dalam rumah tangganya.

Beberapa kali tanpa sengaja aku melihat pandangan mata Handrian yang penuh cinta, saat memandang Melisa. Jujur harus kuakui masih ada perasaan aneh yang menyeruak di hatiku saat melihatnya. Bagaimana tidak, aku dan Handrian pernah saling mencintai. Tapi aku segera berpikir jernih. Melisa berhak mendapat sepenuh cinta Handrian.

Malam harinya, Greg menjemputku. Kami pulang ke apartemen yang dulu pernah kami sewa saat kedatangan pertama kami. Greg dan Handrian terlihat canggung saat berhadapan satu sama lain. Aku bisa memaklumi hal itu. Apa lagi yang bisa kuharapkan?

Tidak mungkin mereka bersikap bagai sahabat lama bukan? Aku sudah cukup beruntung karena mereka bisa saling menyapa dengan ramah walau terlihat canggung.

Keputusan terbaik yang bisa kami ambil buat Jonathan dan Alena adalah, mereka bisa datang berkunjung ke tempatku kapanpun mereka menginginkannya. Ponselku juga selalu siaga 24 jam bila mereka merasa perlu bicara denganku.

Selain itu, yang membuatku merasa tenang, Greg sangat memahami situasi yang harus kuhadapi, dia tidak keberatan dengan kesepakatan yang kami buat.

Anak-anak juga terlihat alami saat berinteraksi dengan Greg. Seperti mereka sudah lama mengenalnya. Greg memang tipe yang disukai anak-anak. Dengan mudah anak-anak bisa merasa dekat padanya.

Setidaknya, ke depan nanti tidak akan ada masalah antara Greg dengan Jonathan dan Alena.

Aku dan Handrian memutuskan untuk tidak akan membebani anak-anak dengan segala aturan yang rumit. Memiliki orangtua kandung yang berpisah tentu sudah merupakan hal yang cukup sulit buat mereka. Jadi kami sedapat mungkin membuat segala sesuatunya sederhana.

"A penny for your tought." Greg tiba-tiba sudah berdiri di belakangku, tangannya mengelus perut besarku dengan lembut.

Aku tertawa mendengar ucapannya. Aku tidak mendengar Greg datang.

"Apa yang sedang kamu pikirkan sayang?"

Aku menggelengkan kepalaku, "Nothing particularly. Aku cuma teringat sama Jonathan dan Alena."

Greg tersenyum mengerti, "Sebentar lagi mereka akan datang ke sini kan. Aku sudah menyuruh asitenku mengurus tiket mereka hari ini. Visa kunjungannya juga sudah siap. Dua minggu lagi kamu bisa bertemu dengan mereka."

"Dan saat itu adik mereka sudah lahir." Ucapku sambil mengelus perutku dengan penuh kasih sayang.

"Ah ya, bagaimana kabar jagoanku hari ini?" Greg berputar dan jongkok di hadapanku. Bibirnya mencium perut bulatku. Seolah bayiku mengerti, dia bergerak-gerak. Kami tertawa melihatnya.

"Abelle juga sudah tidak sabar ingin segera melihat adiknya."

***

Langit sudah berwarna jingga, pertanda sudah saatnya kami pulang. Aku segera membereskan keranjang piknik yang kami bawa. Alena membantuku memasukkan kotak-kotak berisi makanan sisa piknik kami. Kami menghabiskan hari yang cerah di sebuah bukit di Ghent.

Timothy, bayi laki-lakiku yang lahir hampir dua bulan lalu, nampak terlelap dalam gendongan daddy-nya. Abelle melompat-lompat dengan sebelah tangan dituntun oleh Jonathan. Dia terlihat sangat manja pada kakak laki-laki satu ibunya.

Kami berenam, berjalan beriringan sambil bercanda riang menuruni bukit. Diiringi matahari yang semakin turun ditelan bumi. Jonathan dan Alena menganggap diri mereka istimewa karena memiliki dua ayah dan dua ibu yang sangat menyayangi mereka. Terkadang hidup memiliki cara yang unik untuk mengantarkan kebahagian.

S E L E S A I

PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang