- DARI SUDUT PANDANG GREG -
Baru seminggu di Bandung, aku sudah menyesali kedatanganku ke negeri ini. Kulihat Val menjadi murung, tubuhnya jadi semakin kurus. Dia jadi lebih banyak melamun.
Hanya kepada Emily saja dia mau menceritakan semua yang dipikirkannya. Em juga sangat selektif dalam membagi ceritanya padaku.
Tapi dengan Abelle, Val masih bisa tertawa lepas. Memang sulit menahan tawa bila mendengar celoteh polosnya. Tatapan mata jernihnya mencuri hati siapapun yang melihatnya.
Hari ini Val meminta ijin padaku untuk pergi seorang diri.
What? Buatku ini berlebihan. Mengapa dia harus pergi seorang diri? Apa yang akan dilakukannya? Dia menganggap aku apa selama ini? Apakah aku ini penghalang baginya? Hello there! Ide untuk datang ke negara ini berasal dariku! Akulah yang merencanakan perjalanan ini. Kalau aku memang tidak mau dia mengingat masa lalunya, tidak mungkin aku datang kesini bersamanya.
Giliran aku yang merajuk hari ini. Aku tidak peduli, kalau aku tampak seperti anak kecil di mata semua orang. Aku berhak marah. Rasanya tidak ada yang bisa memahamiku saat ini.
Greg berdiri di depan sebuah jendela besar di tengah ruangan, matanya terarah ke bawah, melihat kendaraan yang hilir mudik jauh di bawah sana. Tampak asyik dengan pikirannya sendiri.
Dia tidak menyadari Val juga sedang mengamatinya. Hatinya menimbang-nimbang bagaimana dia harus memperbaiki hubungannya dengan Greg yang sedang tegang.
Aku merasakan tangan Val melingkari pinggangku. Dia memelukku dari belakang. Biasanya aku luluh bila dia melakukan ini. Tapi entah mengapa saat ini rasanya hatiku masih sesak. Aku sedang benar-benar marah.
"Greg, I'm sorry," ucap Val lemah saat aku melepaskan pelukannya, dan bergeser sedikit ke samping.
Entah kemana semua orang sekarang. Ruangan tiba-tiba jadi hening. Bahkan celotehan Abelle pun tidak terdengar.
"Mereka ke kolam renang membawa Abelle," Val langsung menjelaskan saat melihat kepalaku berputar melihat seisi ruangan. "Kita harus bicara, Greg."
Akhirnya aku memandang wajah Val. Kuperhatikan wajahnya semakin tirus, aku mendesah jengkel, "Kamu harus makan yang banyak Val. Aku tidak mau kamu sakit. Jujur saja aku menyesal membawa kamu datang ke negara ini." Rahangku mengatup keras. Aku sekuat tenaga menahan semua kata-kata pedas yang berbaris di kepalaku.
"Aku tahu, kamu marah padaku, Greg."
"Yes! Dan aku berhak untuk itu."
"Tapi, Greg, aku punya alasannya. Aku tidak mau menyakitimu."
"Masalahnya adalah, KAMU tidak percaya aku, Val!" desis Greg dengan gigi terkatup.
"Greg! Denger dulu, please..."
Aku mengibaskan tangan Val yang berusaha memegang tanganku. Jujurnya aku tidak tahan melihat wajahnya yang terluka karena penolakanku.
Oh, demi Tuhan! Aku sama sekali tidak bermaksud menyakitinya. Tapi aku juga bingung menghadapi perasaanku sendiri.
Beruntung, pada akhirnya hatiku berhasil mengalahkan emosi. Val benar, kami harus bicara, kalau tidak ini akan berujung dengan saling menyakiti.
Val menggigit bibir bawahnya yang bergetar, aku yakin dia berusaha menahan tangis. Aku menangkupkan kedua tanganku ke wajah. Berharap tidak perlu melihat kekalutan Val yang kuciptakan dengan sangat baik.
"Kita bicara di café seberang jalan saja."
Aku memutuskan lebih baik kami bicara di tempat umum. Itu akan sedikit meredam emosi kami. Tidak mungkin kami mem-blow up perasaan kami di tengah banyak orang, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.
RomanceValentine, salah satu korban tragedi bom di Paris. Luka fisiknya bisa terobati sempurna, tapi luka psikis dan memorynya yang hilang, belum tersembuhkan. Hidupnya sekarang bergantung pada Greg, bule keturunan Indonesia yang menjadi penyelamatnya. De...