Bonus : GREG'S STORY

81 5 0
                                    

Greg's story :

Seharusnya aku tidak perlu datang ke Paris, seandainya Emily bisa mengantarkan aunt Jeannette pulang. Tapi pagi kemarin tanpa sengaja Emily membuat kakinya terkilir, saat berjalan menyusuri tepi kanal. Sehingga aku yang menawarkan diri untuk menggantikan Emily mengantar aunty pulang ke rumahnya di Paris.

Sebagai ungkapan terimakasih, Aunt Jeannette membawaku ke toko roti milik anaknya di Rue Baldaci. Katanya anaknya sudah menyiapkan croissant coklat yang baru keluar dari oven untuk kubawa pulang ke Ghent.

Pulangnya, sebetulnya aku bisa naik taxi dan langsung turun di Gare du Nord, tapi entah kenapa malam itu aku justru memilih untuk naik metro dan turun di Boulevard Voltaire.

Aku berencana menikmati malam di Paris. Sudah lama aku tidak datang kesana. Aku mau berjalan-jalan di seputar Voltaire Park sambil mengenang saat-saat aku masih bersama Jasmine.

Setidaknya, aku mau minum kopi di resto tempat kesukaan Jasmine. Jasmine, istriku. Kekasih dari masa kecilku. Dia sudah tenang di Surga sekarang. Tubuh ringkihnya sudah tidak sanggup lagi bertahan.

Seharusnya, dia tidak boleh hamil. Tapi dia keras kepala. Akhirnya dia menyerah, dan membawa serta bayiku di dalamnya. Sepertinya aku tidak akan pernah sembuh dari luka yang ditinggalkannya.

Aku berjalan perlahan. Sepanjang yang kutahu, resto-resto mewah disitu selalu ramai dikunjungi oleh turis-turis dari dalam dan luar Perancis. Dari teras-teras resto di malam hari, kita bisa menyaksikan kerlip lampu Menara Eifel di kejauhan. Tentu saja hal itu yang menjadi magnet bagi para pelancong, termasuk aku dan Jasmine.

Aura romantis seolah selalu mewarnai udara Paris. Lampu-lampu yang berkerlip di sepanjang Champ Ellyses menguatkan julukan the City of Light untuk kota ini.

Ketenanganku terusik oleh suara ledakan yang menggelegar. Lampu jalanan di sekitarku tiba-tiba padam. Aku berjalan cepat, seharusnya aku segera menyetop taxi ke Gare du Nord, sebelum keadaan bertambah kacau.

Tapi rasa penasaranku malah menarikku mencari sumber suara ledakan. Aku berlari menyusuri Boulevard Voltaire. Tidak kuhiraukan napasku yang terengah saat melintasi taman besar di pinggiran kota Paris ini. Seolah berlomba dengan arus sungai Seine.

Semakin dekat ke arah sumber suara, mulai kulihat asap mengepul dan lidah api terlihat menerangi gelapnya langit malam. Erangan dan jeritan seperti di neraka. Langkahku terhenti, mataku terpaku memandang kekacauan yang terbentang di depanku. Aku nyaris membalikkan badan saat kudengar seseorang menjerit. Suara perempuan.

"Toloong!!"

Aku kembali menajamkan pendengaranku, aku yakin tidak salah dengar, aku mengenali bahasa itu.

"Toloong!!"

Aku segera mencari asal suara, terdengar tidak jauh dari tempatku berdiri barusan. Aku melangkah masuk ke sebuah restoran. Entah apa namanya. Bagian depannya sudah runtuh. Kelihatannya ledakannya berasal dari arah depan restoran tersebut.

Belum jauh aku melangkah, kudengar lagi suara jeritan tadi. Aku menebak suara itu berasal dari reruntuhan atap samping restoran tersebut. Suasana gelap gulita dan pekat oleh asap. Aku menarik napas dalam dan berjalan mendekat puing di hadapanku. Suara itu terdengar lagi, makin lirih sekarang. Jantungku berpacu, siapapun itu, bertahanlah!

Saat aku menggeser beberapa puing lagi, mulai kulihat seseorang tergeletak di sana. Tubuhnya terlindungi sebuah meja, sehingga dia tidak tertimpa puing bangunan. Alangkah beruntungnya orang ini.

"Tolong!"

"Ya, aku akan menolongmu, kamu bisa dengar suaraku?" aku terpatah-patah mengucapkan kalimat itu. Sudah agak lama aku tidak menggunakan bahasa itu.

PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang