Hari-hari yang kulalui pasca tidak ada Sylvia - (aku selalu menolak menyebut setelah kematian Sylvia, karena bagiku Sylvia tidak pernah mati) - aku hidup seperti zombie.
Menyeret kakiku melangkah kemana-mana. Tubuhku hidup, tapi jiwaku tidak. Aku seperti boneka mati tanpa jiwa, tidak ada sinar kehidupan memancar dari bola mataku. Berjuang keras menahan lidahku agar tidak mengumpat, tidak menyalahkan Sang Maha Kuasa karena membiarkan semua kejadian ini terjadi.
Hari ini, hari pertama aku masuk kerja lagi setelah lebih dari satu bulan aku mengambil cuti. Aku berusaha menemani anak-anakku di hari-hari paling sulit dalam hidup mereka.
Aku teringat malam-malam dimana Alena rewel, dia menangis mencari mamanya dalam tidurnya. Matanya terpejam tidur, tapi dia menangis memanggil mamanya. Hati siapa yang akan tahan mendengarnya.
Di siang hari, Alena bisa menerima kenyataan bahwa mamanya sudah tidak tinggal bersamanya lagi sekarang, mulutnya bisa berkata mama sudah di Surga (aku tidak memiliki pilihan lain selain memberitahunya dengan cara demikian).
Tapi di malam hari, alam bawah sadarnya menolak kenyataan itu. Seandainya saja tangisan bisa membawa Sylvia kembali, aku juga ingin menangis, menjerit, bahkan menggedor langit.
Dua minggu penuh Alena menangis hampir sepanjang malam. Di saat aku mulai merasa diriku telah tiba di batas akhir kekuatan, Tuhan mengirimkan seorang malaikat untuk menolongku. Melisa. Sahabat karib Sylvia.
Mereka sudah bersahabat sejak kecil. Suami dan anak Melisa meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis dua tahun lalu. Usia anaknya waktu meninggal, sama dengan usia Alena saat ini.
Sepeninggal Sylvia, secara otomatis kedua anakku jadi semakin dekat dengan Melisa. Tidak sulit untuk mereka beradaptasi karena Melisa memang bukan orang asing di rumahku.
Anak-anak sejak kecil sudah terbiasa dengan kehadiran Melisa. Ibu kedua yang mereka panggil tante pada awalnya.
Saat masih ada Sylvia, Melisa sudah sering ikut mengurus anak-anak, terutama setelah kematian seluruh keluarga Melisa. Sylvia bahkan akhirnya menyuruh anak-anak memanggilnya, mami. Bukan tante lagi.
Sylvia ingin Melisa tidak terlalu lama larut dalam duka. Dengan menganggap anak-anak kami sebagai anaknya juga, Sylvia berharap bisa mengisi kekosongan hati Melisa sepeninggal orang-orang terkasihnya. Melisa seolah sudah menjadi bagian keluarga, bukan orang luar lagi.
Pagi ini, aku terbangun dengan kepala yang berat, aku tidak tahu sampai kapan aku bisa hidup seperti ini. Seharusnya, aku saja yang mati. Jangan Sylvia, pikirku getir. Kulirik weker di samping tempat tidur. Jam 6 pagi. No! Aku kesiangan. Jonathan harus pergi sekolah.
Aku melompat dari kasur dan berderap menuju dapur. Aku mendengar suara orang mengobrol dari arah dapur. Suara seorang wanita. Hatiku berdesir. Sylvia !!
Aku berlari dan mendorong pintunya. Bukan Sylvia! Tentu saja. Aku memaksakan diri menarik bibirku sedikit ke atas, sambil mengatur napas.
"Mel, pagi sekali kamu udah di sini." Sapaku heran.
Aku melirik jam dinding di ruang tengah. Baru jam enam pagi. Melisa hanya mengangkat kepalanya sebentar lalu kembali menunduk, dia mengaduk sesuatu di atas kompor.
"Aku buatin sarapan buat kalian."
Tangannya cekatan mengaduk nasi goreng di dalam wajan. Kulihat Jonathan sudah mengenakan pakaian seragam dan meminum susunya. Aku mengelus kepala Jonathan.
Kulihat belakangan ini dia menjadi lebih dewasa sikapnya. Dia sudah mulai mengurus dirinya sendiri, bahkan banyak membantuku menjaga Alena.
"Alena masih tidur?" tanyaku sambil duduk di samping Jonathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.
RomanceValentine, salah satu korban tragedi bom di Paris. Luka fisiknya bisa terobati sempurna, tapi luka psikis dan memorynya yang hilang, belum tersembuhkan. Hidupnya sekarang bergantung pada Greg, bule keturunan Indonesia yang menjadi penyelamatnya. De...