Sylvia masih belum kutemukan, ini sudah hari ketiga pasca hilangnya istriku. Aku memperpanjang masa tinggalku di Paris, dengan mengambil cuti ke kantor. Mereka sangat mengerti kondisiku dan membebaskanku mengambil waktu sebanyak yang kuperlukan.
Supaya lebih leluasa mencari Sylvia, kedua anakku dijemput oleh Liana. Kemarin dia dan suaminya datang. Sehingga aku bisa mempergunakan waktuku di sini semaksimal mungkin.
Kegiatan setiap hariku sekarang adalah bolak-balik dari lokasi kejadian ke tenda darurat. Hari ini adalah hari terakhir tenda darurat dibuka. Sudah sembilan puluh persen korban dievakuasi. Hanya tinggal beberapa orang lagi yang masih tertimbun.
Dan salah satunya pasti Sylvia, karena dia masih belum ditemukan. Aku memeriksa seluruh korban yang berhasil dievakuasi hari ini dan tetap tidak ada Sylvia diantara mereka.
Aku juga mengecek ke beberapa rumah sakit lainnya. Bersamaan dengan ledakan di restoran kami ternyata ada juga insiden di beberapa tempat lainnya. Jumlah korban terbanyak berasal dari aksi penembakan di gedung yang sedang menyelenggarakan konser musik. Aku sudah mengecek kesana kemari, tapi tetap saja belum berhasil menemukan Sylvia.
Aku berjalan menuju sebuah taman di pinggir jalan. Duduk di salah satu kursinya, lalu menggigit Panini berisi daging dan sayur di tanganku. Aku sama sekali kehilangan napsu makan, harus kupaksakan diri untuk mengisi perut. Aku tidak boleh jatuh sakit sekarang. Sylvia sangat membutuhkanku.
Ingatanku melayang ke kejadian kemarin sore. Waktu aku memeriksa korban di rumah sakit, kulihat ada seseorang yang tubuhnya sebagian besar ditutupi perban, bahkan sampai ke kepalanya. Aku seolah melihat sosok Sylvia yang terbaring di sana. Postur tubuhnya sangat mirip istriku.
Hatiku berdebar kencang saat itu. Aku yakin itu Sylvia, tapi saat aku membuka tirainya, kulihat ada seorang pria bule yang duduk di sampingnya. Mereka berpegangan tangan, kulihat papan nama di kepala ranjangnya. Valentine. Bukan Sylvia! Aku minta maaf dan menutup kembali tirainya. Kulihat pria bule di sebelah korban menganggukkan kepalanya.
Perlahan dia bangun hendak mendekatiku, namun sang wanita segera menarik tangannya. Akhirnya dia kembali duduk di tempatnya semula, memandangku dengan sorot mata minta maaf.
Aku menarik napas panjang. Setidaknya pria tersebut masih beruntung. Istrinya masih hidup, apapun kondisinya saat ini. Toh suatu saat kondisi fisiknya pasti pulih. Apa sih yang tidak bisa dibereskan dengan operasi plastik pada jaman sekarang.
Aku kembali melangkah gontai keluar dari Rumah Sakit menembus kegelapan malam. Berharap besok aku bisa bertemu Sylvia.
Baru saja kuhabiskan panini makan siangku, telepon di sakuku bergetar. Karena terkejut aku menyenggol gelas plastik berisi kopi yang isinya hanya tinggal sedikit lagi. Aku segera menjawab panggilan itu. Dalam hitungan detik aku berlari kembali ke rumah sakit. Kudapat kabar Sylvia sudah ditemukan!
Aku langsung menuju meja informasi. Pihak rumah sakit membuka satu meja informasi khusus di lobby depan, untuk menangani segala hal yang berkaitan dengan tragedi yang baru saja terjadi. Selain itu, pengamanan juga semakin diperketat.
Sejak kemarin, aku diberi kartu identitas yang menjelaskan bahwa aku adalah keluarga korban. Sehingga aku tidak perlu berulang-ulang menjalani pemeriksaan di pintu masuk.
Informasi yang kudapat merenggut semua harapanku. Aku diminta mengenali sesosok jenazah. Jenazah! Kepalaku berputar, kakiku terasa lemah. Aku tidak tahu, akan sanggupkah kakiku menahan bobot tubuhku sampai ke ruang jenazah.
Kulirik petugas berseram biru yang berjalan di sampingku. Dengan sabar dia menungguku berjalan dengan tertatih. Aku benar-benar harus mengerahkan seluruh kekuatanku untuk terus melangkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.
RomanceValentine, salah satu korban tragedi bom di Paris. Luka fisiknya bisa terobati sempurna, tapi luka psikis dan memorynya yang hilang, belum tersembuhkan. Hidupnya sekarang bergantung pada Greg, bule keturunan Indonesia yang menjadi penyelamatnya. De...