Sudah hampir tengah malam, Sylvia masih belum juga pulang. Tapi entah kenapa hati Handrian tidak merasa khawatir. Dia tahu Greg akan memastikan keselamatannya. Mungkin mereka saat ini sedang berkumpul dengan anak mereka.
Ingatan Handrian kembali pada anak mungil dalam gendongan Sylvia beberapa hari yang lalu. Anak yang sepintas terlihat lebih mirip Greg. Hanya mata sipit Sylvia saja yang membuktikan kalau anak itu juga anak Sylvia.
Kaki Handrian kembali melangkah ke depan pintu kamar Melisa, diketuknya kembali perlahan. "Mel, buka pintunya. Kamu harus makan, Mel."
Suara Handrian sudah mulai terdengar putus asa. Sudah sejak jam tujuh malam tadi dia bolak balik mengetuk kamar Melisa tanpa mendapat jawaban. Masih tidak ada respon dari dalam, Handrian kembali melangkah ke ruang tengah dan duduk di sofa.
Ditutupinya wajahnya dengan kedua belah tangannya. Heran dengan hatinya, saat ini dia merasa lebih khawatir pada Melisa daripada Sylvia.
Menarik napas dalam-dalam, membuka ponselnya yang bergetar, ada pesan masuk. Dari Sylvia ternyata. Dia mengabarkan kalau malam ini dia tidak bisa kembali. Anaknya demam. Aku hanya membaca pesannya tapi sama sekali tidak berniat untuk membalasnya.
Handrian bersandar di sofa, menutup matanya. Berusaha mengendalikan pikirannya yang kalut. Berharap malam ini tidak ada kasus darurat yang membuatnya harus datang ke rumah sakit.
Entah jam berapa dia merasa ada tangan lembut menyentuh keningnya, menyelimuti tubuhnya yang terasa kaku. Dengan mata terpicing dia melihat wajah Melisa yang teduh, sangat dekat ke wajahnya.
Saat matanya terbuka penuh dilihatnya wajah Melisa begitu dekat, karena terkejut Melisa segera menjauhkan wajahnya.
Tangan Handrian menahannya, diciumnya bibir Melisa dengan penuh kerinduan. Dipeluknya tubuh istrinya. Handrian menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Melisa. Mereguk kedamaian yang sangat dia butuhkan. Satu kesadaran tiba-tiba menyeruak ke dalam pikirannya.
Melisalah yang sekarang mengisi rongga hatinya. Orang yang selalu dia khawatirkan. Handrian bangkit dari sofa, meraup selimut dengan sebelah tangan. Sementara sebelah tangan lainnya merengkuh bahu Melisa dan membawanya masuk ke dalam kamar tidurnya. Bukan ke kamar Alena.
Handrian segera menyingkap penutup tempat tidur dan langsung membaringkan tubuhnya. Melisa terlihat berdiri mematung di depan tempat tidur. Seolah dapat membaca pikiran Melisa, Handrian menjelaskan, "Aku tidak pernah tidur bersama Sylvia di sini, Mel. Aku tidur di sofa luar."
"Tapi aku tetap tidak bisa tidur bersamamu di sini. Bagaimana kalau Sylvia..."
"Besok pagi, aku akan mengatakan pada Sylvia tentang semuanya. SEMUANYA, Mel!"
Ada sesuatu dalam suara Handrian yang membuat Melisa tidak berani membantahnya. Perlahan dia membaringkan diri di ujung tempat tidur tempatnya biasa berbaring. Lengan kokoh Handrian segera merengkuhnya. Mereka tidur sambil berpelukan sepanjang malam.
Keesokan sorenya
Mobil Handrian berbelok masuk ke pekarangan rumah, dilihatnya Sylvia sedang bersitegang dengan Melisa. Entah apa yang sedang mereka perdebatkan. Di belakang punggung Melisa bersembunyi Alena yang terisak sambil memegang rok Melisa erat-erat.
Melihat Handrian masuk ke dalam ruangan, Alena berlari sambil berteriak, "Papa!!"
Handrian langsung menggendong Alena. Matanya bergantian memandang Melisa dan Sylvia. Sylvia berjalan cepat ke arahku hendak mengambil Alena dari gendonganku. Alena kencang-kencang memeluk leherku.
"Alena, turun! Mama bilang apa tadi?" Nada bicara Sylvia yang tinggi membuat isakan Alena bertambah kencang. Aku terpaksa membalikan tubuh dan menjauhi Sylvia.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.
RomansaValentine, salah satu korban tragedi bom di Paris. Luka fisiknya bisa terobati sempurna, tapi luka psikis dan memorynya yang hilang, belum tersembuhkan. Hidupnya sekarang bergantung pada Greg, bule keturunan Indonesia yang menjadi penyelamatnya. De...