Aku pulang ke rumah, ruang depan terlihat sepi. Aku melangkahkan kaki ke taman belakang, langsung menuju ke ruangan di ujung taman. Aku membuka ruangan yang selama ini selalu terkunci. Ruangan yang seharusnya menjadi hadiah kejutan buat Sylvia sepulangnya kami dari Paris. Ruangan ini selalu dibersihkan oleh Mbok Sarmin secara rutin.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Di tempat ini aku menyimpan semua lukisan hasil karya Sylvia.
Ya, aku berencana membuat sebuah galeri buat istriku. Satu tempat dimana dia bisa melukis dengan tenang dan menyimpan semua hasil lukisannya.
Mataku terpaku pada foto pernikahanku dengan Sylvia. Dia terlihat sangat cantik dalam balutan gaun pengantin berwarna putih. Aku memeluk Sylvia dan kami tertawa lebar seolah dunia ada dalam genggaman kami saat itu.
Aku duduk di atas salah satu kursi, di dalam kegelapan. Aku sengaja tidak menyalakan lampu. Aku sedang ingin sendirian. Pikiranku kalut. Aku bingung dengan semua hal yang baru saja terjadi. Aku tidak tahu harus gembira atau sedih mengetahui Sylvia masih hidup.
Entah sudah berapa lama aku duduk, pintu perlahan terbuka. Aku mengangkat kepala, kulihat Melisa berjalan masuk. Ada gurat khawatir di wajahnya.
"Han, ada apa?" Tangannya menekan saklar untuk menyalakan lampu. Mataku mengerjap melihat sinar yang tiba-tiba menerangi ruangan.
Aku berusaha tersenyum, bersikap seperti biasa, seolah tidak ada apapun yang terjadi, "Ga ada apa-apa, Mel. Udah lama aja aku ga masuk ke ruangan ini. Anak-anak ke mana?"
"Mereka dijemput oleh sopir Liana, dia mengajak anak-anak menginap di rumahnya. Barusan Liana meneleponku. Katanya dia sudah meneleponmu, tapi tidak kamu angkat, jadi dia telepon aku, dia bilang..."
"Kamu mengijinkan? Seharusnya kamu tanya aku dulu!"
Tanpa sadar suaraku meninggi, aku mengacak rambutku. Aku takut Liana mengatakan sesuatu mengenai Sylvia kepada anak-anakku. Aku takut Liana kelepasan bicara, aku sangat mengenal kebiasaan Liana yang satu itu. Lebih baik mereka tidak mendengar apa-apa dulu sampai aku membereskan segala sesuatunya.
Melisa terkejut melihat sikapku, dengan nada suaraku lebih tepatnya. "Ada apa sih, Han? Beberapa hari belakangan ini, kamu terlihat tidak seperti biasanya. Kamu marah karena aku hamil lagi?"
Aku menggeleng,
"Ngga, bukan. Tidak ada apa-apa. Maafkan aku. Tidak ada hubungannya dengan kehamilan kamu."
Aku beranjak dan mengajak Melisa keluar ruangan. Mematikan lampu, lalu mengunci pintu di belakangku. Aku membiarkan Melisa dalam keheranannya, aku belum siap menjelaskan apa-apa padanya.
"Han, ada apa?" Melisa mengejarku. "Aku tahu, ada sesuatu yang terjadi."
Aku menarik napas, aku memang tidak bisa menyembunyikan apa-apa dari Melisa. Aku mengeluarkan ponselku dari kantong, kulihat ada beberapa panggilan tak terjawab dari Liana. Aku menekan nomer panggil Liana, sambil berusaha menenangkan Melisa,
"Mel, kuakui, memang ada sesuatu terjadi. Tapi aku belum bisa ceritain sama kamu. Kasih aku waktu. Percayalah, pada saatnya nanti aku akan ceritakan semuanya padamu."
Aku memilih jujur, tidak mungkin menutupi semua hal ini dari Melisa.
Kudengar suara Liana di ujung telepon. Aku mengangkat tanganku pada Melisa, bergerak keluar dari ruangan ke halaman depan. Aku tidak mau Melisa mendengar isi pembicaraanku dengan Liana.
"Liana, dengar! Aku tidak mau anak-anakku, juga Melisa, tahu soal Sylvia. Kamu jangan bertindak gegabah dalam hal ini. Terlepas dari kebenaran, Valentine adalah Sylvia, ada banyak hal yang harus kita pertimbangkan secara hati-hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.
Любовные романыValentine, salah satu korban tragedi bom di Paris. Luka fisiknya bisa terobati sempurna, tapi luka psikis dan memorynya yang hilang, belum tersembuhkan. Hidupnya sekarang bergantung pada Greg, bule keturunan Indonesia yang menjadi penyelamatnya. De...