DI BAWAH NAUNGAN SAYAP MALAIKAT

32 6 0
                                    

Tanpa terasa setahun berlalu sudah, aku dan anak-anakku bertahan hidup tanpa Sylvia. Kemarin adalah hari peringatan setahun meninggalnya Sylvia.

Satu kata yang terpaksa kuakui sekarang. Perkataan yang kupaksakan bisa keluar dari mulutku dan didengar telingaku. Sylvia sudah meninggal.

Terngiang kembali obrolanku dengan mama Sylvia semalam di halaman depan, sesaat sebelum aku mengantarkannya pulang.

"Han, sudah setahun Sylvia berpulang. Sudah saatnya kalian melanjutkan hidup. Mama lihat Melisa sangat menyayangi kalian. Dia berperan dengan sangat baik sebagai ibu pengganti bagi anak-anak. Seandainya suatu hari nanti kamu memutuskan untuk menikah lagi, mama harap orang itu adalah Melisa. Anak-anak menyayangi dia seperti menyayangi Sylvia."

"Ma, apaan sih. Handrian sama sekali tidak terpikir untuk menikah lagi."

Mama memegang lenganku, "Han, kamu masih muda. Kamu berhak bahagia. Anak-anak juga butuh figur seorang ibu. Selama ini Melisa tinggal bersama kalian. Mama tahu, Melisa memang tidur bersama Alena, tapi kita harus pikirkan juga omongan orang. Kalian tinggal satu atap tanpa ikatan. Lebih baik kalian menikah saja. Semua pihak akan bahagia. Terutama anak-anak."

"Tapi Handrian masih mencintai Sylvia, Ma, rasanya tidak akan ada orang lain lagi selain Sylvia. Selamanya. Saya tidak mau mengkhianati janji pernikahan kami. Tidak mungkin saya bisa mencintai orang lain lagi. "

"Cinta bisa tumbuh perlahan, Han. Apa yang kamu takutkan? Dengan menikahi Melisa, bukan berarti kamu berlaku tidak setia kepada Sylvia. Memang betul kamu sudah berjanji untuk setia pada Sylvia. Sampai kapan? Sampai maut memisahkan kalian. Dan sekarang maut sudah memisahkan kalian. Lanjutkan hidupmu, Han! Ingat, ada anak-anak. Kamu tidak bisa hanya memikirkan perasaanmu sendiri saja."

Aku terpekur di hadapan ibu mertuaku. Kulihat kerutan di dahinya semakin dalam. Berkali-kali aku memintanya untuk tinggal di rumah bersamaku dan anak-anak. Tapi beliau selalu menolaknya. Dia lebih memilih tinggal bersama Sherin, adik Sylvia.

Ibu mertuaku memang sesekali menginap di rumah. Terutama saat dia merindukan Sylvia. Hubungannya dengan Melisa juga baik.

Aku membiarkannya, membereskan baju Sylvia. Mengeluarkannya dari dalam lemariku. Satu hal yang aku tidak sanggup melakukannya. Jadi, ibu mertuaku yang membantuku.

Aku sengaja, pulang terlambat dari kantor. Menunggu lemariku selesai dibereskan. Toh ada Melisa yang membantunya. Mungkin aku bersikap kejam terhadap mertuaku. Aku juga tahu persis bagaimana perasaannya, walaupun dia tidak pernah mengucapkannya.

"Han, pikirkan apa kata mama barusan dengan kepala dingin," ibu mertuaku masih membujukku.

Dengan tegas aku menjawab, "Nggak, Ma. Gak akan pernah."

Bunyi gelas pecah di dapur menyadarkanku dari lamunan. Aku segera berlari menuju dapur. Sambil memasukan kaus rumah melewati kepalaku. Aku baru saja selesai mandi. Hari ini aku bisa pulang cepat dari kantor.

"Ah! "

Aku mendengar jeritan tertahan Melisa. Aku segera memutari meja makanku yang bermodel bar dengan empat kursi tinggi. Hasil dekorasi Sylvia, tentu saja. Setiap sudut rumah ini direncanakan secara detil oleh Sylvia, saat dia sedang mengandung Jonathan. Kami memutuskan pindah ke rumah yang lebih besar saat itu, karena awalnya sebelum punya anak, aku dan Sylvia tinggal di sebuah apartemen.

"Mel! Tangan kamu berdarah!" aku segera membantu Melisa berdiri dan menarik lembut lengannya, mengajaknya keluar dari daerah pecahan gelas. "Hati-hati!"

"Ga apa-apa, Han. Cuma luka kecil," tapi dari luka yang menurutnya kecil itu darah mengucur deras. Aku segera mengambil kotak obat-obatanku dan segera membersihkan lukanya dengan cairan pembersih. Melisa selalu menarik tangannya, membuatku kesulitan untuk merawat lukanya. Terpaksa aku menjepitnya dengan agak keras.

PAST CONTINUOUS - Saat masa lalu bertabrakan dengan hari ini.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang